Teori Konspirasi dan Politik Primitif Generasi Post-Truth

Imajinasi manusia memang begitu kaya dan merdeka. Oleh karena itu juga kita sering menerima kekayaan cerita di dalam teori-teori konspirasi yang miskin fakta-fakta ilmiah tersebut. Dan lebih mengherankan lagi, dengan imajinasi yang kaya, semakin liar dan menggebu tersebut, kita bahkan sering membuang fakta-fakta ilmiah dan lebih mempercayai fantasi-fantasi yang diciptakan dengan bersemangat dan menggelegar pula.

Jul 14, 2024 - 11:11
 0  11
Teori Konspirasi dan Politik Primitif Generasi Post-Truth

Teori Konspirasi, adalah sebuah kekosongan yang ditanamkan dengan keyakinan yang unik. Sesungguhnya tidak sepenuhnya kosong, karena di seputar  konspirasi terserak fakta-fakta tunggal terpisah. Dan fakta-fakta yang berdiri sendiri ini dicoba untuk dirangkai, dicocok-cocokkan dan dijadikan narasi untuk membenarkan sebuah dugaan atau dugaan-dugaan. Berbeda dengan sebuah persekongkolan jahat untuk melakukan tindak kriminal tertentu (juga disebut konspirasi), teori konspirasi sering bersifat bombastis bahkan fantastis.

Pada 22 November 1963, sebuah pembunuhan terjadi di Dallas Texas Amerika Serikat. Tiga peluru ditembakkan, dan dua peluru menghantam kepala John Fitzgerald Kenndey, sang presiden flamboyan yang sangat populer. Penembakan itu menyebabkan kematiannya dan mengakhiri kepresidenan yang masih berada pada tahun ketiga. Bukan pembunuhan biasa, tetapi pembunuhan yang menimbulkan kontoversi hingga lima dekade berikutnya.

Pembunuhan itu penuh dengan misteri. Lee Harvey Oswald dituduh sebagai pembunuhnya, Oswald tidak sempat diadili, dua hari kemudian, ia ditembak oleh Jack Ruby, seorang pemilik klub malam di Dallas. Sehingga rantai peristiwa seakan putus sampai di sana. Penyelidikan selama sepuluh bulan oleh Komisi Warren yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Earl Warren menyatakan pembunuhan Kennedy adalah aksi tunggal oleh Oswald. Begitu juga dengan pembunuhan Oswald, juga merupakan sebuah aksi tunggal. Tidak ada konspirasi yang melibatkan banyak orang atau organisasi tertentu dalam pembunuhan JFK, begitu kata Komisi Warren. Empat tahun kemudian, Jack Ruby pun meninggal di penjara.

Tetapi seperti kabut asap kebakaran hutan, gagasan-gagasan, tuduhan, kecurigaan, prasangka berkembang sedemikian rupa, sehingga kontroversi itu berkembang menjadi banyak teori konspirasi seputar pembunuhan JFK. Dan konspirasi itu menjadi sebuah ritual tahunan, menjelang peringatan kematian Kennedy pada 22 November. Keterlibatan CIA, FBI, Castro dan puluhan teori lainnya selalu mengudara dan menciptakan sensasi.

Sifat bombastisnya ini yang membuat teori konspirasi banyak digemari orang. Tidak saja secara individual, kelompok diskusi, ruang debat, organisasi-organisasi politik bahkan di kalangan akademisi sering terlibat dan terjun bebas ke dalam kancah teori-teori konspirasi.

Di lapangan relijius, konspirasi berkembang sangat luas. Kadang disokong dengan penelitian-penelitian ilmiah yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan masalah yang di-objekkan, tetapi karena sedikit bersinggungan dijadikan sebagai rujukan. Semisal saja, teori konspirasi tentang Jesus. Tentang kelahirannya, kematiannya, spekulasi tentang anak keturunannya, kelompok-kelompok yang menjaga rahasianya, adalah tema paling menarik yang pernah dituangkan ke dalam ranah konspirasi. Begitu juga tentang Vatikan dan rahasia-rahasia gelapnya, seperti menambahkan minyak ke atas api, gelapnya masa ke-paus-an Borgia membuat semakin gelap cerita itu.

Di sisi yang lain, alien, adalah objek konspirasi yang tak kering dijadikan bahasan. Semisal tentang “jatuhnya pesawat alien” di Roswell, dan ribuan teori “aneh” lainnya. Bahkan di televisi, dibuat program-program khusus tentang kemungkinan-kemungkinan keberadaan alien di bumi sejak dahulu sampai sekarang, bahkan anehnya dibungkus dengan “penuturan ilmiah” yang dikenal sebagai ancient alien. Pseudo science di kepala mereka yang sudah terpapar teori konspirasi akan menjadi teori tak terbantahkan dan valid, seperti bumi ini adalah tataran datar bagi para penggemar teori flat earth.

Tentu saja yang masih hangat-hangat kuku adalah konspirasi tentang Peristiwa 9/11. Serangan teroris yang meruntuhkan gedung Pusat Perdagangan Dunia (WTC). Tuduhan bahwa Amerika Serikat (dalam hal ini pemerintahan George W. Bush) yang mendalangi sendiri serangan tersebut, untuk bisa segera menginvasi Iraq dan merampok minyaknya, sangat digemari oleh khalayak ramai.

Konspirasi, meskipun kadang didukung oleh fakta-fakta yang akurat, tetapi jelas tidak mampu menjelaskan secara pasti bagaimana sebuah peristiwa terjadi. Bahkan ilmu sejarah sendiri tidak mampu melakukan hal  tersebut. Dengan fakta-fakta yang sering sumir dan tidak didapatkan dengan metode penelitian yang benar, teori-konspirasi kadang terdengar sangat menggelikan dan menjengkelkan untuk dibahas namun tetap saja mengasyikkan.

Meski teori konspirasi harus dianggap sebagai proses paling buruk untuk menelaah sebuah peristiwa (sejarah), ditempat tertinggi, dalam  sastra, teori konspirasi sering menjadikan sebuah karya sastra sangat menarik dan bernilai tinggi. Ketika The Name of the Rose diterbitkan, langsung melambungkan nama Umberto Eco sebagi penulisnya. The Name of the Rose adalah karya sastra paling baik yang menampilkan konspirasi dalam bentuknya yang paling murni. Kecurigaan berbalut ketakutan, rahasia-berbalut rahasia, misteri yang ditutupi dengan pembunuhan dan kejahatan keji. Dilanjutkan oleh Eco dengan bukunya Foucault Pendulum, yang menceritakan konspirasi yang lebih rumit dan mencekam tentang persekutuan-persekutuan rahasia, bahkan tentang Hermes Trimegistus. Pada The Prague Cemetery, menceritakan sebuah persekutuan jahat  yang disusun dengan rapi untuk menciptakan dokumen palsu, The Protocol of the Elders of Zion, yang menyebutkan konspirasi orang Yahudi untuk “menguasai dunia”, diceritakan oleh Eco dengan apik, luar biasa rumit dan kokoh.

Uniknya, di dunia nyata dokumen palsu tersebut dipercaya oleh banyak orang sampai kini sebagai dokumen otentik dan jahat.

Kegemaran publik akan konspirasi seakan meledak pada level yang belum pernah ada ketika Dan Brown menerbitkan novel fenomenalnya, The da Vinci Code. Novel fiksi ini dibuka dengan pernyataan yang bombastis, “FAKTA”. Sehinga dengan pesona awal ini, imajinasi publik di bawa ke dalam teori konspirasi paling laris dan kontroversial dalam bentuk karya literatur yang paling populer. Banyak gereja bereaksi, banyak negara ribut, dan muncul euforia. Novel ini laris manis di seluruh dunia. Dan The da Vinci Code, menjadi tonggak baru dalam dunia penerbitan, khususnya fiksi. Apalagi setelah diangkat ke dalam film. Kemudian bertaburan novel-novel ber-genre konspirasi dengan tema yang  beragam, relijius, finansial, sejarah hingga politik.

Dalam masa dan paska Pilpres 2014, di negeri kita, juga tak kalah banyak beredar konspirasi.  Teori-teori yang dikembangkan tentu saja bertujuan untuk menjatuhkan lawan politik atau tokoh yang terlibat dalam gelanggang politik. Semisal teori yang menyatakan bahwa Pak Jokowi adalah  “anak seorang Tionghoa”, anak seorang tokoh PKI, Jokowi adalah antek China, antek Vatikan dan ragam konspirasi yang menggelikan dan naif.

Karena sifatnya yang bombastis dan penuh fantasi, konspirasi selalu menarik hati banyak orang dan kepala-kepala kosong yang enggan mencari fakta dan data dengan benar, dan itu juga yang melahirkan kata “post-truth” dan istilah generasi post-truth. Ketika kebenaran sudah dianggap obsolete dan tidak relevan, menjadikan “mainstream” sebagai kata yang berkonotasi negatif. Ketika masa kebenaran telah berakhir, teori konspirasi dan hoaks naik kelas menjadi rujukan baru.

 Teori konspirasi itu menarik dan membuat kita bisa membual, bahwa kita mengetahui fakta sebanyak yang bisa dikumpulkan oleh seorang profesor dan sejarawan selama bertahun-tahun kerja akademisnya, dan mengemasnya melalui cerita menarik, membuat banyak orang geram dengan tuduhan-tuduhan yang digambarkan di dalam narasi yang penuh fantasi itu.

Imajinasi manusia memang begitu kaya dan merdeka. Oleh karena itu juga kita sering menerima kekayaan cerita di dalam teori-teori konspirasi yang miskin fakta-fakta ilmiah tersebut. Dan lebih mengherankan lagi, dengan imajinasi yang kaya, semakin liar dan menggebu tersebut, kita bahkan sering membuang fakta-fakta ilmiah dan lebih mempercayai fantasi-fantasi yang diciptakan dengan bersemangat dan menggelegar pula.

Fantasi dan teori konspirasi memang bukan hal asing bagi kita. bahkan sangat dekat. Bagi kita yang pernah jatuh cinta (tentu saja semua orang pernah), kecemburuan sering mendatangkan fantasi-fantasi liar tentang orang yang kita cemburui. Bahkan ketika kecemburuan itu semakin memburuk, di dalam pikiran kita membangun sebuah konspirasi bahwa seorang kekasih, suami, istri telah mengkhianati kita, dengan model pengkhiatan yang bahkan sulit dilukiskan dalam keadaan sadar. Akhirnya fantasi dan kospirasi individual itu tak jarang mengakibatkan  pembunuhan,  kekerasan dan kehancuran rumah tangga.

Dalam skala kecil, konspirasi bisa sangat merusak. Dalam skala besar, sebuah negara bisa hancur lebur dan berantakan, terpecah belah bahkan mengundang perang. Sebuat saja misalnya tentang kasus Kapten Dreyfuss di Perancis yang juga diceritakan oleh Eco di dalam The Prague Cemetery. Kasus ini membelah dan membelenggu Perancis sekaligus selama lebih dari satu dekade pada akhir abad ke-19, memenjarakan orang tidak bersalah (hanya karena Kapten Dreyfuss seorang Yahudi) dan melepaskan seorang pengkhianat yang sebenarnya.

Tidak kurang, kondisi negeri kita saat ini juga begitu, teori-teori konspirasi politik berkembang begitu derasnya. Merusak tatanan berbangsa, membuat kita saling curiga, pemerintah yang memang (tidak) kompeten menjadi semakin sulit bekerja, rakyat jelata penuh hasut dan dengki, politisi menjadi semakin tak berkualitas dan negara menjadi aneh. Parahnya, para akademisi ikut-ikutan ke dalam gelanggang penuh khayal tersebut.

Beragam objek menjadi konspirasi, tetapi tak sekalipun itu bisa menjadi sebuah kenyataan yang dapat diterima secara utuh dan benar, tidak akan pernah. Namun begitu teori konspirasi tentang deep-state, Illuminati, Priory of Sion, Knights of Templar, Rosikrusian, Freemason dan Rothschild, teori hari kiamat ala Maya dan puluhan lainnya akan selalu menghiasi ranah media dan buku. Selamanya akan begitu.

Tetapi begitu, kita harus berpegang kepada sebuah teorema tak penting yang selalu saya pegang teguh. “Menolak teori-teori konspirasi secara penuh akan membuat kita menjadi sangat naif. Tetapi menerimanya secara penuh akan membuat kita menjadi sangat bodoh.”

Tinggal kita mengambil posisi di tempat yang kita inginkan. Karena menjadi bodoh sekalipun adalah pilihan demokratis. (df/jdipl)

 

 

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow