Mafia dan Kita
Dunia kita, sebagaimana mafia juga menyebut diri mereka begitu, “cosa nostra” seakan tak jauh beda dari mereka, kita yang menyebut diri sebagai masyarakat beradab, bisa menjadi buas dengan pembenaran-pembenaran yang tak masuk akal atas tindakan-tindakan kita.
Ia lahir di Corleone, Sicilia tahun 1930 Salvatore “Toto” Riina berasal dari keluarga miskin. Sejak muda, setelah kematian ayahnya, ia bergabung dengan klan mafia di Corleone. Dari sangat bawah, melalui pembunuhan demi pembunuhan, menyingkirkan saingan bahkan rekan-rekannya sendiri dengan kejam, ia berhasil menjadi “il capo dei capi”, boss of the bosses pada era 1980-an. Tak kurang dari 200 orang telah dibunuhnya atau diperintahkannya untuk dibunuh, termasuk polisi, jaksa dan seorang jenderal carabinieri, membom kereta api, dan berkali-kali divonis hukuman seumur hidup dalam pengadilan in-absentia, yang mungkin, membuatnya menjadi seorang mafioso paling berdarah dari Italia. Salah satu korbannya yang sangat terkenal adalah Giovanni Falcone (dan juga istrinya), seorang jaksa investigasi mafia, sebuah suara dan ikon baru dalam pemberantsan mafia di Sisilia dan Italia kala itu.
Pada 15 Januari 1993, Toto Riina di tangkap di Palermo setelah 23 tahun dalam pelarian. Sebanyak USD 125 juta asetnya disita, di mana penegak hukum berkeyakinan, itu hanya sebagian kecil kekayaan dari hasil kejahatannya. Vonisnya; 26 kali hukuman seumur hidup. 17 November 2017, ia meninggal di dalam penjara karena kanker.
Corleone, kota kecil di Sisilia tidak terkenal karena Toto Riina. Pada tahun 1972, Francis Ford Coppola membuat film yang diangkat dari novel Mario Puzo yang berjudul sama, The Godfather. Sebuah saga tentang keluarga mafia Amerika yang berasal dari Corleone. Meskipun telah banyak film bertema mafioso sebelumnya, tetapi The Godfather adalah puncak pencapaian film-film gangster sepanjang masa, bahkan dianggap sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat. The Godfather meromantisasi klan-klan kriminal yang meneror Amerika Serikat seusai Perang Dunia II. Kehidupan keluarga Corleone, Don Vito, Sony, Fredo, Hagen, dan “the reluctant protégé” yang akhirnya menjadi lebih buas dari pada siapapun di keluarga itu, Michael Corleone dan akhirnya menjadi Don Michael Corleone. Kolega mereka Tessio dan Clemenza. Lawan-lawannya, Klan Tattaglia, Barzini, sindikasinya, kekejamannya, darah dan intrik, kekuatan perlindungan politik dan koneksi dengan kepolisian. Film ini memiliki gambar yang mempesona, musiknya indah, ceritanya menawan, karakterisasinya luar biasa. Akting para pemerannya, terutama Marlon Brando dan Al Pacino adalah sebuah masterpiece. Para penjahat fiktif ini seperti menjadi pahlawan-pahlawan romantis yang menguasai imajinasi publik di awal tahun 1970-an itu. Dunia terpesona, dan romantisasi terhadap dunia kejahatan semakin menarik.
Dan kita heran, mengapa dunia kejahatan yang kelam itu membuat kita terpesona dan selalu haus untuk memperhatikannya. Jawabannya seharusnya berada pada akhir tulisan ini, tetapi mari kita jawab saja, karena kita lah mafia itu.
Cerita tentang mafia memang selalu menarik siapa pun yang mencoba memahami dunia kejahatan. Tentang kejahatan, apa yang mendorongnya terjadi, mengapa sekelompok orang mau dan memampukan diri melakukan kejahatan bersama-sama; tidak takut dan tidak enggan menerima resikonya; memiliki kode dan tirakat kehormatan sendiri; kejam dan tanpa ampun, bangga dan membanggakan kejahatannya. Semua itu seakan bisa kita gali di dalam satu kata sakral saja, mafia.
Ketika Volstead Act (National Prohibition Act) pada 1919 diundangkan, kelompok-kelompok mafia di Amerika tumbuh bagai jamur. Tak kurang dari mafia Irlandia, Italia, Yahudi, bergentayangan menyasar kehidupan publik Amerika. Objek utama kejahatan mereka saat itu adalah minuman keras, yang dilarang oleh undang-undang tersebut. Menyelundupkan, menyuling, mendistribusikan minuman keras membuat mereka harus harus menyuap polisi, politisi, dan pejabat pemerintahan sebagai perlindungan. Di era inilah Al Capone merajahi wajah Kota Chicago dengan nama besarnya, sebagai tokoh paling kuat dan paling berpengaruh di Illinois. Ia berteman dan menyuap walikota, kepala kepolisian, politisi, hakim, jaksa wilayah dan siapa saja yang mau berteman dan memberikan keuntungan kepada Si Codet (Al Capone digelari Scarface karena bekas luka di wajahnya). Seperti pepatah Italia mengatakan, ia memiliki perlidungan seperti “koin-koin yang ada dikantongnya”
Di era Depresi Besar, setelah keruntuhan pasar saham 1929, membuat mereka sedikit goyah. Kemudian Volstead Act tidak berlaku lagi di tahun 1933, membuat para keluarga mafia ini terpaksa mendiversifikasi bisnis mereka. Namun demikian resiliensi mereka sangat hebat. Perlindungan hukum dari polisi, politisi dan pejabat-pejabat korup membuat kelompok-kelompok mafia dengan nyaman menjalankan bisnis haram mereka bisa bertahan dengan gemilang.
Di New York juga berkembang keluarga-keluarga mafia besar, di mana setelah bersekutu menghabisi Giuseppe Maseria, Charles “Lucky” Luciano, kemudian juga melumat sekutunya itu, Salvatore Maranzano, lalu mendirikan “The Comission” agar tidak ada lagi Capo di tutti capi (boss of all bossess). Tetapi Lucky Luciano tetap sebagai pemimpin tertinggi, yang dianggap sebagai pendiri kejahatan terorganisasi modern di Amerika Serikat dan dunia. Kemudian lahirlah lima keluarga Mafia yang merajai New York di era itu dan meninggalkan warisan legendanya hingga saat ini.
Pemerasan, perjudian ilegal, “perlindungan”, serikat buruh, prostitusi, penyeludupan, perampokan, pembunuhan, narkotika, lalu properti dan proyek-proyek konstruksi sebagai lahan pencucian uang. “The Comission” memberikan lampu hijau bagi Benjamin “Bugsy” Seagal, untuk membangun sebuah rumah judi di gurun Las Vagas di negara bagian Nevada, begitulah legendanya sebagaimana digambarkan dalam film yang dibintangi oleh Warren Beaty sebagai Bugsy Seagal (meskipun bukan Bugsy yang memiliki ide tetapi ia terlibat dalam di bisnis itu). Era baru dunia kejahatan terorganisasi dimulai.
Flamingo, adalah cikal bakal kota perjudian terbesar di dunia yang kita kenal saat ini. Awalnya, Flamingo dianggap sebagai proyek gagal dan sempat ditutup, Bugsy Seagal yang begitu yakin bahwa Las Vegas akan menjadi mesin uang bagi keluarga-keluarga mafia, akhirnya terbunuh di rumah kekasihnya (kemungkinan atas perintah Komisi itu sendiri), karena pembengkakan biaya pembangunan dan prospek bisnis judi Flamingo yang buruk. Setelah kematiannya, terbukti Bugsy Seagal benar dengan optimismenya tentang Las Vegas.
Era itu memang berubah, daerah gurun Las Vegas itu akhirnya menjadi salah satu kota paling sibuk dan tak pernah tidur. Perjudian yang dilegalkan menjadi lahan subur bagi perkembangan kasino-kasino baru, pengunjung datang dari seluruh penjuru dunia, penyanyi terkenal dipanggil dan tampil, orang-orang kaya berjudi tanpa jeda, uang tunai dalam jumlah besar masuk tanpa henti, lampu-lampu tak pernah mati, dua puluh empat jam sehari, tujuh hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun, Las Vegas terus menghasilkan uang. Dan bisa disebut, inilah warisan terbesar dari era keemasan mafia di Amerika Serikat, yang dengan hipokritnya dinikmati oleh Amerika Serikat dan dunia.
Properti adalah strategi pencucian uang paling laris manis. Dan mafia masuk dari ruang gelap bisnis ilegal ke hotel-hotel mewah dan kasino-kasino megah di Las Vegas secara legal. Uang darah akhirnya masuk ke dalam arena judi dan hotel-hotel, mafia beralih wajah dari orang-orang kampung yang berwajah bodoh, menjadi bos-bos dan CEO bersetelan mewah dalam bisnis resmi yang diakui pemerintah.
Mafia memang selalu romantis. Sebagaimana yang digambarkan oleh The Godfather, mafia adalah refleksi dari naluri paling liar manusia, mereka memandang dunia dari sudut pandang yang sesungguhnya tak beda jauh dari kita di dunia yang kita katakan putih ini. Mafia menyebut diri dengan cosa nostra, our thing, dunia kita, milik kita, aturan kita. Dengan sebutan itu, mereka menyatakan, bahwa semua yang dilakukan adalah urusan mereka, “mengapa dunia kalian ikut campur urusan kami?”
Terkadang memang, legal dan tidak legal itu hanya masalah sudut pandang belaka. Misalkanlah, jika kita sebut mafia perampok dan pembunuh. Mereka akan berdalih, apakah polisi dan tentara tidak membunuh? Bukankah Amerika Serikat dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya juga memerintahkan perang dan merampok bangsa-bangsa lain? Jika mereka dituduh meng-endorse perjudian, mengapa pemerintah melegalkan judi di Las Vegas? Jika mereka dituduh menjadi penyedia prostitusi, bukankah negara membiarkan para pejabat dan orang-orang elitnya menikmati prostitusi?
"Kalian membuat aturan dan kami juga memiliki aturan sendiri. Bukankah itu hanya masalah sudut pandang belaka?" Seperti dialog Michael Corleone dengan Kay Adams dalam film The Godfather, setelah kepulangannya dari pelarian di Sisilia, yang membuat kita tersentak;
“Ayahku tidak berbeda dari orang-orang berkuasa lainnya. Orang-orang yang bertanggung jawab terhadap orang lain, seperti para senator dan presiden,” kata Michael.
“Kau tahu betapa naif kau mengatakan itu,” Kay Adams menukas.
“Mengapa?” tanya Michael.
“Karena para senator dan presiden tidak membuat orang terbunuh.”
Dan jawaban Michael membuat kita sendiri merinding, “Siapa yang naif sekarang?”
Dialog ini seakan sebuah sindirin pedas kepada masyarakat kita, sekaligus betapa kerasnya mafia melakukan pembenaran terhadap aksi-aksi yang mereka lakukan dalam dunia mereka.
Dunia kita, sebagaimana mafia juga menyebut diri mereka begitu, “cosa nostra” seakan tak jauh beda dari mereka, kita yang menyebut diri sebagai masyarakat beradab, bisa menjadi buas dengan pembenaran-pembenaran yang tak masuk akal atas tindakan-tindakan kita. Pemerintah, masyarakat, pranata sosial, norma, dan kesadaran komunal kita berusaha sekuat mungkin untuk membuat tindakan-tindakan buas kita seakan bisa diterima oleh akal sehat dan nurani. Tetapi sebenarnya, kita tak lebih brutal daripada mafia itu sendiri.
Dalam itulah kejahatan terorganisasi, Mafia, Triad, Yakuza, Mafiya, kartel narkotika di Kolombia, Medellin, Cali, atau Sinaloa, los Zetas, la Familia, Tijuana, Knight Templar di Meksiko membenarkan dirinya untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang membuat kita mual.
Tetapi sebagaiamana mafia dan kejahatan terorgansasi, banyak negara yang juga diatur dengan cara begitu, kita hanya membuat posisi yang berseberangan saja. Negara membantai rakyatnya sendiri, negara menjadi korup karena sistem yang korup dan pejabat-pejabatnya korup. Warga negaranya tak peduli asal bisa makan dan hidup mewah berkelimpahan, apa bedanya dengan Escobar yang membangun kerajaan sendiri dan membuat aturan sendiri di dalam lingkungannya. Membunuhi musuhnya, menghapus ancaman, menyerang dengan brutal, membantai dengan laknat.
Apa bedanya invasi Iraq oleh Amerika Serikat dan Sekutunya dengan yang dilakukan oleh Toto Riina terhadap Italia? Apa beda yang dilakukan Pablo Escobar terhadap Kolombia dengan perlakuan Israel kepada Palestina? Apa beda Los Pepes, Sinaloa, Cali dan organisasi kejahatan yang ada di negeri kita?
Jawabannya, kita hanya berada di sisi neraka yang berseberangan. Kita hanya penjahat-penjahat yang memakai baju berbeda dengan kelakuan yang sama.
Mafia, adalah sentilan terhadap karakter hipokrit manusia, meskipun bukan berarti dengan itu kita bisa membenarkan kejahatan terorganisasi. Namun kita ini mewakili sebuah kemunafikan besar yang kita pertontonkan setiap saat. Dan Mafia, dengan terbuka, melepas jubah hipokrisi itu dan mempertontonkan diri mereka sebenarnya. Kita hanya duduk di tempat berseberangan di meja yang sama, dengan hidangan yang sama tetapi dengan garpu, pisau dan sendok kita masing-masing. Beradu cepat untuk menghabiskan dan saling berebut tentang siapa yang paling berhak.
Toto Riina sudah mati. Begitu juga dengan Lucky Luciano, Bugsy Seagal, Salvatore Maranzano, Meyer Lansky, Al Capone, Pablo Escobar, Frank Lucas, Rafael Quintero, John Gotti, Gambino, Genovese, Bonano, Lucchese, Mangano. Joaquin ‘el chapo” Guzman sedang membusuk di penjara, dan ribuan bandit-bandit sosial lain sebentar lagi hanya akan menjadi sejarah dan terlupakan.
Namun mafia-mafia berbaju resmi dengan pangkat dan jabatan resmi, yang membunuhi, merampok, memutilasi, membantai manusia dengan peluru dan tank-tank, pesawat-pesawat, drone-drone; dengan ayunan tanda tangan, merampok, meng-korupsi kekayaan negara dengan surat-surat; dengan kata-kata manis pengacara-pengacara akan selalu ada.
Bukankah jika kita menginginkan sesuatu dari orang lain, jika mereka tidak mau memenuhinya, lalu kita akan berkata, "I'm gonna make him an offer he can't refuse", sebagaimana yang dikatakan oleh Don Corleone? Bukankah begitu korupsi besar-besaran bisa terjadi, korupsi yang melibatkan pengusaha, pejabat dan parlemen? Ketika Don Vito Corleone mengatakan bahwa pengacara bisa merampok lebih banyak dengan tasnya dibandingkan perampok bersenjata, bukankah itu kebenaran tentang kita?
Pada akhirnya, di negeri kita atau di manapun, hukum bisa dikadali, lari, menghindar, dan kita selalu bisa memberikan penawaran yang tak bisa ditolak itu. Lalu kita menjadi mafia dalam batin, dalam lahir dan dalam mimpi. Ketika kita terbangun, kita rupanya tidur berdampingan dengan Johny Roselli di dalam drum minyak dan berenang bersama ikan-ikan di laut kemunafikan peradaban kita. Karena kita semua mafia.
Dan lagi, kita berkata, kita berbeda dari mereka, kita tak sama dengan mafia. Michael Corleone datang dan menjawab, “Who’s being naïve now…?” (df/jidpl)
Apa Reaksi Anda?