Kemenangan Donald Trump dan Arah Baru Tatanan Global
Sulit untuk dicegah Donald Trump akan menjadi pemicu besar bagi retaknya tatanan liberal yang telah bertahan selama hampir tiga puluh lima tahun sejak runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 dan Uni Soviet 1991. Dan kita akan disuguhi kembali dengan adagium si vis pacem parabellum, sebagai mantra penawar luka jika perang sudah menjadi new normal bagi dunia kita yang sedang tidak baik-baik saja.
Metode penghitungan suara dalam pemilu Amerika Serikat yang sudah sangat mapan memastikan kemenangan Donald Trump pada Selasa malam, 5 November, waktu setempat. Trump telah mencapai 312 electoral votes dari 270 votes yang diperlukan untuk dinyatakan sebagai pemenang Pilpres AS yang tidak didasarkan pada popular vote tetapi oleh voting di electoral college masing-masing negara bagian.
Ada harapan besar pada pencalonan Kamala Harris, mesin politik Partai Demokrat yang bekerja luar biasa dalam mengumpulkan dana kampanye, tetap tidak mampu mendorong Kamala Harris—yang sejak awal diperkirakan akan kalah—menuju Gedung Putih. Kinerja kampanye Harris dan Partai Demokrat tampaknya tidak cukup meyakinkan pemilih Amerika Serikat untuk mendukung mereka dalam melanjutkan kebijakan-kebijakan Joe Biden, yang dinilai melemahkan posisi Amerika Serikat baik di dalam maupun di luar negeri.
Model kampanye Donald Trump, yang tidak jauh berbeda dari dua kampanye pilpres sebelumnya, sebenarnya tidak begitu meyakinkan publik Amerika Serikat. Beberapa survei menjelang hari pemilihan tidak menunjukkan tanda-tanda kuat bahwa Trump akan menang dengan mudah. Tampaknya, faktor terbesar yang berkontribusi terhadap kekalahan Harris dan Partai Demokrat adalah kinerja ekonomi pemerintahan Biden, permasalahan imigrasi, dan carut marut politik identitas di Amerika Serikat, terutama terkait persoalan gender dan LGBTQ, yang membuat Demokrat menghadapi kritik dari kalangan konservatif moderat hingga Demokrat kanan. Peran Amerika Serikat dalam konflik di Timur Tengah (terutama Israel-Palestina), Asia (terkait China dan hubungan China-Taiwan), dan perang Rusia-Ukraina juga menimbulkan resistensi besar dari dalam negeri.
Publik Amerika Serikat juga mulai mencemaskan manuver ekonomi yang dilakukan oleh China dan Rusia, terutama terkait dengan BRICS. Dalam jangka panjang, jika Amerika Serikat tidak serius menahan laju pengaruh BRICS, dominasi dolar AS sebagai mata uang utama ekonomi global bisa terancam akibat konsep egalitarianisme mata uang yang diusung oleh BRICS.
Konflik Israel-Hamas yang telah meningkat menjadi “perang kawasan” karena keterlibatan Iran, Lebanon (Hizbullah), dan Yaman (Houthi) membuat publik Amerika Serikat mulai mempertanyakan posisi negaranya dalam konteks global.
Kekalahan ini cukup telak bagi Partai Demokrat, terutama karena Senat dan Kongres Amerika Serikat juga hampir pasti akan dimenangkan oleh Partai Republik. Akibatnya, Donald Trump dan pemerintahannya dapat membentuk kebijakan baik domestik maupun internasional dengan lebih leluasa. Isu-isu seperti aborsi, perpajakan, dan kemungkinan bahwa Trump akan menempatkan figur Republik di Mahkamah Agung Amerika Serikat membuat arah kebijakan Gedung Putih menjadi semakin konservatif. Di tingkat global, kampanye-kampanye isolasionis ala Donald Trump, seperti “Make America Great Again” (MAGA) dan America First, pasti akan menimbulkan kekhawatiran bagi sekutunya di Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Keinginannya untuk secara drastis mengurangi dukungan Amerika Serikat terhadap NATO dan pertahanan Eropa mungkin akan membuat Eropa menjadi titik panas konflik dunia berikutnya.
Kita perlu ingat bahwa dua perang dunia yang terjadi pada abad lalu berawal dari konflik negara-negara Eropa yang haus akan kekuasaan. Industri militer dan kekuasaan politik yang sering berkolaborasi untuk “melestarikan” konflik—atau yang oleh Presiden Eisenhower dalam pidato perpisahannya pada 1961 disebut sebagai military-industrial complex—membuat perang menjadi industri yang menggiurkan. Dan Eropa adalah pemilik industri perang terbesar sepanjang sejarah manusia.
Kemenangan Trump ini memberikan efek kejut ke seluruh dunia, meski sudah diprediksi jauh-jauh hari. Indonesia sebagai bagian dari tatanan global perlu mencermati arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump yang dikenal eksplosif, impulsif, dan sangat cepat (jika tidak bisa disebut ceroboh) dalam membuat keputusan-keputusan politiknya. Polarisasi di Amerika Serikat yang semakin tajam, secara tidak langsung membuat negara itu sulit untuk menjadi reliable, jika diberikan peran untuk kembali memimpin tatanan global seperti yang telah dilakoni Amerika Serikat selama tiga dekade belakangan.
Pilpres AS berakhir antiklimaks bagi Harris dan Partai Demokrat. Namun, Pilpres ini bukanlah akhir dari penentuan nasib politik Amerika Serikat, melainkan titik awal bagi pembentukan tatanan global yang baru. Ke depan, dunia akan dihadapkan pada konflik-konflik ekonomi dan militer yang sulit dicegah. Tatanan Liberal dan institusi internasional yang seharusnya mampu mencegah konflik menjadi mandul dan tidak mampu menjadikan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia sebagai penjamin perdamaian global. PBB tak ubahnya seperti Liga Bangsa-Bangsa yang terbentuk setelah Perang Dunia I. Tidak memiliki taji dan gagal memenuhi harapan sebagai wasit yang adil bagi konflik dunia. PBB sudah menjadi lokomotif tua yang uzur, sekretaris jenderalnya adalah politisi yang tidak memiliki wibawa global sama sekali. Ketidakpatuhan Israel terhadap PBB dan veto-veto yang kerap kali dijatuhkan oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB terutama Amerika Serikat, menjadikan PBB dan Dewan Keamanan sebagai perpanjangan tangan, atau mungkin lebih tepatnya saat ini, adalah lembaga yang “sudah tidak dianggap penting” oleh para great powers.
Pandemi Covid-19 telah membuktikan bahwa negara-negara dunia akan memprioritaskan kepentingan nasionalnya masing-masing demi stabilitas ekonomi dan keamanan. Kerja sama internasional yang dicita-citakan kaum Liberal ternyata sulit diwujudkan saat krisis global melanda dunia. Sesuai ramalan kaum Realis, tatanan global tidak dapat menghalangi negara-negara besar untuk menjadi nasional sentris. Kepentingan nasional adalah mutu manikam dalam hubungan internasional, self-interest mengatasi semua nilai-nilai Liberal yang disepakati. Perdamaian dan kerja sama global hanya berlaku jika mendukung kepentingan nasional mereka.
Sulit untuk dicegah, Donald Trump akan menjadi pemicu besar bagi retaknya tatanan liberal yang telah bertahan selama hampir tiga puluh lima tahun sejak runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 dan Uni Soviet 1991. Dan kita akan disuguhi kembali dengan adagium si vis pacem parabellum, sebagai mantra penawar luka jika perang sudah menjadi new normal bagi dunia kita yang sedang tidak baik-baik saja.
Apa Reaksi Anda?