Pasangan Tunggal di Pilkada Jawa Timur?

Pasal 40 Ayat (1) yang menjadi dasar hukum terjadinya pasangan calon tunggal, dan bahkan membuka kemungkinan terjadinya kegagalan pelaksanaan pilkada karena tidak adanya partai politik yang mengusung pasangan calon. Sementara di sisi yang lain, pengaturan mengenai pasangan calon perseorangan sangat ketat dan kecil kemungkinan di suatu daerah akan muncul pasangan calon perseorangan.

Jul 29, 2024 - 15:17
 0  89
Pasangan Tunggal di Pilkada Jawa Timur?
Sumber : Antarafoto

Total Kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur sebanyak 120 Kursi. Dari 120 kursi tersebut, sebanyak 62 Kursi adalah kursi dari partai politik (parpol) yang sudah menyatakan dukungan untuk Pasangan Calon Khofifah Indar Parawangsa dan Emil Dardak, yakni Partai Golkar (15 Kursi), PAN (5 Kursi), Partai Gerindra (21 Kursi). Sementara sisa sebanyak 58 kursi yang masing-masing adalah milik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Partai Nasdem.

Ketiga parpol tersebut masih belum menentukan sikap politiknya di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Jawa Timur. PKB sebagai pemenang pemilihan legislatif di Jawa Timur atau sebagai peraih kursi terbanyak dan memenuhi syarat menjadi pengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di Pilkada Jawa Timur 2024 juga belum mendeklarasikan kandidatnya. Hal yang sama juga terjadi di PDI Perjuangan dan Partai Nasdem. Andai dua Parpol ini berkoalisi akan bisa memenuhi persyaratan sebagai parpol pengusung.

Dengan demikian, di atas kertas minimal tiga pasangan calon dapat dihadirkan dalam Pilkada 2024 di Jawa Timur: pasangan calon petahana yang diusung Koalisi Partai Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PPP, PSI, dan PKS; kemudian potensi pasangan calon yang diusung oleh PKB; dan potensi pasangan calon Koalisi antara PDI Perjuangan dengan Partai Nasdem. Kecenderungan partai politik dalam pilkada yang sangat pragmatis, yakni meraih kemenangan atau berhasil meraih kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah masih menghambat terbentuknya koalisi-koalisi tersebut.

Nama-nama seperti Tri Rismaharini dan Marzuki Mustamar, yang belakangan sering diwacanakan sebagai calon penantang Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jawa Timur. Tri Rismaharini yang akrab dipanggil Ibu Risma, dipandang mampu menjadi penantang calon petahana. Ibu Risma yang saat ini menjabat menteri sosial dan pernah menjabat sebagai walikota Surabaya selama dua periode memiliki modal politik yang layak dipertimbangkan. Terlebih, Ibu Risma adalah kader PDI Perjuangan, parpol yang memiliki basis pemilih yang sangat kuat di Jawa Timur. Nama Tri Rismaharini dalam hasil survei oleh Indopol Survei & Consulting di akhir tahun 2023 juga menempati posisi terbesar kedua tingkat elektabilitasnya di bawah nama Khofifah Indar Parawangsa.

Indikasi masih kuatnya PDI Perjuangan di Jawa Timur nampak dari perolehan kursi di DPRD Jawa Timur yang menembus 21 kursi, dan terdapat sebanyak sebelas bupati atau walikota yang merupakan kader dan/atau yang diusung oleh PDI Perjuangan sebagai hasil Pilkada Serentak 2020 dari 19 Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang menggelar pilkada serentak. Sebelas kepala daerah dari kader  PDI Perjuangan tersebut terpilih di Pilkada Kabupaten Sumenep, Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Malang, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Ngawi. Hal ini adalah modal yang sangat penting karena kesebelas kepala daerah tersebut masih menjabat hingga Pilkada Serentak 2024. 

Sementara untuk figur berikutnya yang juga diwacanakan yakni Marzuki Mustamar. Figur ini sudah tidak asing bagi warga Jawa Timur, terlebih bagi warga Nahdhatul Ulama (NU). Pengalamannya yang pernah menduduki pimpinan PWNU Jawa Timur dan latar belakangnya sebagai seorang kyai atau ulama menjadi menarik atau layak untuk dipertimbangkan sebagai opsi yang dapat menjadi lawan potensial bagi petahana. Marzuki Mustamar juga memiliki kedekatan dengan pimpinan PKB, baik PKB Jawa Timur maupun Tingkat Pusat atau DPP. 

Menurut hasil survei Indopol Survey & Consulting yang dilakukan di akhir tahun 2023 dan awal tahun 2024, menunjukkan bahwa figur calon kepala daerah di Jawa Timur yang menjadi harapan pemilih salah satunya adalah figur dengan latar belakang “tokoh masyarakat” atau “ulama”. Menempati posisi terbesar kedua setelah figur yang sudah mempunyai pengalaman sebagai kepala daerah. Marzuki Mustamar tentunya sangat potensial bagi PKB, mengingat PKB sebagai parpol pemenang pemilu  di Jawa Timur.

Kedua figur, baik Tri Rismaharini maupun Marzuki Mustamar, dengan profil yang demikian luar biasa sebagai kandidat, ternyata belum cukup bagi PKB, PDI Perjuangan, dan Partai Nasdem untuk mendeklarasikan dukungan. Modal politik yang sebetulnya terbilang bagus guna untuk berkompetisi di Pilkada Jawa Timur.

Namun hingga akhir Juli masih belum jelas dan tegas siapa saja yang akan menjadi calon kepala daerah di Pilkada Jawa Timur; sehingga menimbulkan tanda tanya besar. Padahal, penting bagi warga Jawa Timur untuk mendapatkan opsi calon kepala daerah dari ketiga parpol tersebut. Jika ternyata ketiganya tidak mendorong atau mengusung calon sendiri yang berbeda dengan petahana, maka Pilkada Jawa Timur hanya menghadirkan satu pasangan calon saja, yakni calon petahana. Sehingga, kemungkinan hanya akan terdapat satu pasangan calon kepala daerah di Pilkada Jawa Timur tahun 2024 menjadi sangat terbuka.

Kondisi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh regulasi yang mengatur pelaksanaan pilkada yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.  Ada dua hal yang patut disoroti. Pertama, tidak terdapatnya pengaturan mengenai batas maksimal dukungan Parpol dalam mengusung Calon Kepala Daerah, dan kedua, tidak adanya pengaturan tentang kewajiban atas parpol untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dalam pilkada serentak. Maka layak dipertimbangkan untuk dilakukannya evaluasi terhadap undang-undang tersebut.

UU yang menjadi dasar pelaksanaan Pilkada Serentak hanya mengatur tentang batas minimal perolehan kursi dan/atau suara di DPRD sebagai persyaratan untuk dapat mengusung Pasangan Calon. Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika jumlah kursinya di DPRD minimal dua puluh persen atau minimal dua puluh lima persen dari akumulasi perolehan suara sah. Dari rumusan Pasal 40 Ayat (1) ini juga dapat disimpulkan kalau pengajuan pasangan calon itu merupakan bagian dari hak partai politik. 

Pilihan kata “dapat” dalam rumusan Pasal 40 Ayat (1) tersebut menegaskan bahwa tidak ada kewajiban atau keharusan bagi partai politik untuk mendaftarkan pasangan calon dalam pilkada. Sehingga secara otomatis tidak terdapat implikasi secara hukum, seperti sanksi bagi partai politik yang tidak mendaftarkan pasangan calon. Andai partai politik secara kompak tidak satupun mendaftarkan pasangan calon, secara hukum sangat terbuka kemungkinannya. Ketika hal itu benar-benar terjadi, maka akan menjadi problem tersendiri di pelaksanaan pilkada.

Oleh karena itu, sudah perlu dilakukan evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Beberapa formulasi pengaturan yang berpotensi melemahkan proses demokrasi dan bahkan mengancam, harus dilakukan reformulasi. Di antaranya yaitu Pasal 40 Ayat (1) yang menjadi dasar hukum terjadinya pasangan calon tunggal, dan bahkan membuka kemungkinan terjadinya kegagalan pelaksanaan pilkada karena tidak adanya partai politik yang mengusung pasangan calon.

Sementara di sisi yang lain, pengaturan mengenai pasangan calon perseorangan sangat ketat dan kecil kemungkinan di suatu daerah akan muncul pasangan calon perseorangan. Jadi, poin penting yang harus segera di evaluasi adalah formulasi-formulasi pengaturan yang berpotensi mengancam munculnya banyak pasangan calon kepala daerah di pelaksanaan Pilkada Serentak.

*Fauzin Ahmad adalah Direktur Indopol Survey & Consulting Jawa Timur.   

 


Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow