Ironi Partai Politik di Pilkada 2024
Andai saja semua partai politik kompak untuk tidak mengusung satu pasangan calonpun, maka pilkada bisa gagal dilaksanakan. Tentunya kondisi yang demikian sebagai bagian dari "ironi partai politik".
Partai politik (parpol) adalah salah satu komponen dasar demokrasi. Secara konstitusional, kedudukannya sangat kuat dan penting. Satu-satunya badan hukum di republik ini yang mendapatkan privilege mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan bahkan mengusung calon presiden dan wakil presiden, baik secara mandiri ataupun berkoalisi hanya partai politik, sebagaimana diaturr dalam UUD 1945 dan berbagai aturan turunannya yang terkait dengan kepemiliuan dan pilkada.
Secara normatif sebetulnya hal tersebut sangat proporsional. Mengingat, parpol memiliki peran dan fungsi untuk melakukan perekrutan dan peng-kaderan calon-calon pemimpin di republik ini, calon-calon pemimpin yang akan mengisi gedung parlemen dan eksekutif seharusnya disiapkan secara baik oleh partai politik. Namun menjadi ironis, ketika di setiap momentumnya pengisian calon pemimpin baik di legislatif maupun di eksekutif, ternyata partai politik tidak siap mengusung kadernya sendiri. Partai politik seolah mengalami kebingungan yang sangat serius ketika sudah tiba masa pemilu dan pilkada, termasuk di Pilkada 2024.
Ambil contoh kasus jelang Pilkada Jawa Timur 2024. Berdasarkan hasil Pemilu 2024, terdapat 120 kursi di DPRD Jawa Timur yang terisi penuh dari berbagai perwakilan Partai Politik. Perolehan kursi masing-masing partai politik beragam, dari yang hanya dapat 1 kursi saja, hingga yang terbanyak mendapatkan 27 kursi. Secara matematis, dengan total 120 kursi tersebut, maka seharusnya sangat cukup syarat untuk menghadirkan tiga dan bahkan empat pasangan calon kepala daerah pada Pilkada Jawa Timur. Kenyataannya, hingga akhir Juli ini baru ada satu pasangan calon yang secara terang benderang, yakni pasangan calon kepala daerah dan wakil wepala daerah petahana yang diusung oleh koalisi Partai Golkar, PAN, Demokrat, PPP, PKS, dan PSI.
Sementara untuk PKB, PDI Perjuangan dan Partai Nasdem masih belum menemukan pasangan calon yang akan diusung. Padahal hitungan di atas kertas, PKB bisa mengusung pasangan calonnya sendiri tanpa perlu berkoalisi. Sementara PDI Perjuangan andai berkoalisi dengan Partai Nasdem sudah sangat cukup juga untuk mengusung pasangan calon. Faktanya tidak demikian.
Di sisi yang lain, secara normatif tidak ada aturan yang dapat menjadi dasar untuk melarang partai politik mengusung calon yang bukan kadernya. Akibatnya, tidak terbangun garis linier antara peran dan fungsi parpol serta hak istimewa yang diberikan oleh konstitusi dengan fakta partai politik di momen pengisian calon pemimpin di republik ini. Tidak ada pula batasan maksimal jumlah kursi dalam koalisi, yang ada hanya aturan batas minimal sebuah koalisi parpol untuk dapat mengusung pasangan calon di Pilkada 2024.
Kekosongan aturan batas maksimal ini menyebabkan pasangan calon tertentu "memborong" rekomendasi partai politik atau menyebabkan terbentuknya koalisi besar yang berujung terbangunnya calon tunggal melawan "Kotak Kosong" dalam pilkada. Kekosongan aturan berikutnya yaitu tidak adanya sanksi bagi partai politik yang tidak mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Andai saja semua partai politik kompak untuk tidak mengusung satu pasangan calonpun, maka pilkada bisa gagal dilaksanakan. Tentunya kondisi yang demikian sebagai bagian dari "ironi partai politik".
Fenomena ini juga bisa terjadi sebagai bagian dari akibat digelarnya pemilu secara serentak, yaitu Pemilihan Legislatif (pileg) dan Pemilihan Presiden (pilpres) 2024, dan dilaksanakannya pilkada sekaligus di tahun yang sama. Pileg dan Pilpres pasti sangat menguras sumber daya masing-masing partai politik.
Ini bagian dari catatan evaluasi untuk penataan pemilu dan pilkada ke depan. Bahwa di tengah sumber daya partai politik yang terbatas, perlu dipertimbangkan kembali pelaksanaan pemilu serentak dan pilkada di tahun yang sama. Indikasi keterbatasan sumber daya ini dapat dilihat pada munculnya koalisi besar dan calon tunggal melawan Kotak Kosong.
*Penulis, Fauzin Ahmad adalah Direktur Indopol Survey & Consulting Jawa Timur.
Apa Reaksi Anda?