Novus Ordo Seclorum
Dua milenium yang lampau, pada Ides of March di Theatre of Pompey, Julius Caesar dibunuh dengan keji oleh para senator, yang didalangi oleh anak angkatnya sendiri, Marcus Junius Brutus. Di Roma, tragedi abadi ini tercatat dalam sejarah. Setelahnya, perang saudara pun pecah. Triumvirat dibentuk, yang akhirnya berujung pada kematian Antony dan Cleopatra di Alexandria, Mesir. Octavius Augustus kemudian berkuasa, dan dimulailah era kejayaan baru bagi Romawi kuno. Sebuah penanda waktu. Penanda sebuah era.
Waktu berjalan semakin cepat, namun pasti. Ia terus berjalan, tidak akan berhenti di persimpangan atau di sebuah restoran. Oktober akan berlalu, dan 2024 segera berakhir. Waktu, sebuah misteri tanpa pengungkapan. Namun, jangan lupa, waktu memiliki tanda. Stephen Hawking menyebut bahwa entropi, atau peningkatan kekacauan, adalah penanda waktu. Sebuah cangkir yang jatuh dari meja dan hancur berkeping-keping menandakan perjalanan waktu, yang tak mengenal surut. Cangkir itu tak akan kembali ke atas meja dan menyusun dirinya menjadi utuh kembali seperti semula.
Kekacauan yang kita rasakan saat ini adalah penanda waktu. Dunia terus berputar, bumi terus berevolusi, dan kehidupan terus berdinamika. Sebagai warga negara, kita menyaksikan pergolakan yang menggeliat, konflik yang subur di kalangan elit politik, dan kompromi yang mengikuti. Perebutan kekuasaan tak pernah berhenti. Namun, rakyat hidup sebagaimana biasa. Jalan-jalan di daerah masih banyak yang berlubang, dan kemacetan di pusat pemerintahan tak kunjung usai. Kebakaran hutan yang pernah menghantui kini tak terdengar lagi. Harga bahan pokok naik turun, sementara para spekulan terus mencari untung. Begitulah kehidupan berjalan sebagaimana layaknya. Pemerintahan lama bubar, digantikan oleh rezim yang baru. Siklus kekuasaan adalah perulangan yang tak terhentikan.
Semburat cahaya dari ufuk timur selalu terulang, begitu pula senja yang selalu tiba. Pergolakan terus terjadi, karena entropi adalah satu-satunya yang abadi. Sebuah kemestian. Selama negara ini ada, selama dunia ini menyediakan sumber kehidupan, pergumulan akan terus terjadi. Penjahat akan terus beraksi, dan pencuri akan mencoba merampok, baik dengan topeng wol maupun dengan jas mengkilat dan pena mahal. Tapi lihatlah!
Proyek-proyek infrastruktur telah selesai dan diresmikan. Bukan sekadar membangun sesuatu, melainkan semoga untuk mewujudkan sebuah visi besar yang seharusnya sudah lama terwujud. Sulit untuk menyebutkan satu per satu. Apakah semua tanpa cela? Kita tidak hidup di dunia yang sempurna, tempat semua hal bisa berjalan sesuai rencana atau dapat diramalkan dengan bola kristal. Akan ada kekurangan. Pemerintah akan terus melahirkan pejabat korup, dan birokrasi akan tetap menjadi mesin ringkih yang berlagak seperti dinamo besar yang angkuh. Namun, kita harus melihat cahaya. Ada perubahan besar yang sedang berlangsung. Sebuah era baru telah tiba. Apakah ini era emas atau sekadar karat? Kita sebagai bangsa yang akan menentukan.
Pemerintahan hadir untuk bangsa ini. Menilai dari sudut pandang kerakyatan, optimisme harus tetap ada. Era Soekarno kini kita nilai dari buku-buku sejarah dan kesaksian para pelaku sejarah; dari cerita orang tua kita dan legenda di tengah masyarakat. Era itu penuh dengan intrik dan mabuk kekuasaan dalam diri Soekarno. Eksperimentasi ideologi yang tak pernah berhenti, dan kehancuran ekonomi yang parah.
Di era Orde Baru, harapan sempat bersinar, namun kita malah mengundang buaya untuk duduk di singgasana kekuasaan—salah satu diktator paling ganas dalam sejarah. Era Reformasi membuka banyak jendela baru, tetapi sebagian besar yang kita terima hanyalah cahaya imitasi dari lampu-lampu yang pudar dan redup. Reformasi membawa harapan-harapan besar, sebagian terwujud, namun sebagian besar lainnya justru membawa kekecewaan.
Perubahan harus didahului oleh gejolak. Namun, jangan sampai mengundang revolusi. Pemerintah terus bekerja, menjadi mesin yang utuh dan menghasilkan kerja nyata. Bukan lagi tercerai-berai dan menjalankan fungsinya masing-masing secara terpisah. Inilah harapan itu—kesederhanaan yang dibalut dengan pekerjaan besar untuk rakyat. Mesin besar sedang bekerja. Birokrasi besar sedang dibangun. Kesejahteraan sedang diundang. Namun, apakah kita harus menerawang sebuah kesempurnaan? Tidak, kita tidak bodoh.
Tidak ada kesempurnaan yang dihasilkan oleh tangan manusia. Asimetri yang terlihat tidak sempurna itu menunjukkan bahwa kita masih manusia. Bahkan Tuhan pun menciptakan gunung dengan asimetri yang parah, tetapi kita melihatnya dengan takjub. Kita sedang menyongsong era baru. Menanti sebuah gerakan. Ke mana kapal besar ini akan dibawa? Tentu masih penuh dugaan dan prediksi yang tak pasti.
Bagi yang masih ribut karena kedengkian akibat kekalahan, silakan lanjutkan. Mesin besar itu tidak akan berhenti oleh hujatan apa pun, dan tidak pula akan bersinar lebih terang karena pujian dari para pendukung sang pemenang. Negara hanya bisa berjaya melalui kerja nyata dan kekuasaan yang menggerakkan potensi besar anak bangsa. Igauan di media sosial dan gerutuan di media massa tidak akan menghalangi roda itu untuk terus berputar—baik maju atau hancur.
Mutatis mutandis, kata orang Latin. Air tidak akan berhenti mengalir meskipun ada bendungan. Ia akan mencari kanal lain. Kita sedang menyongsong era baru: entah gelap atau terang, sulit untuk tahu. Tapi geraknya tak akan terhentikan oleh sekadar gerutuan dan caci maki, dan sekali lagi, tak pula akan berjaya karena penjilat ahli beraksi dan melantunkan puisi. Bukalah mata lebar-lebar, pancangkan intelektualitas lebih dalam. Penipuan oleh kekuasaan adalah tipu daya paling usang, tetapi kepada daya pikir yang lemah, para penggosip yang merasa cerdas, sosial media yang penuh racun dan buruk sangka, kepada akademisi yang lalai karena benci, tipu daya itu mudah sekali berhasil dan mumpuni.
Untuk tak tertipu, maka membacalah!
Selamat datang, novus ordo seclorum.
Apa Reaksi Anda?