Harun Masiku dan Buronan Lainnya
Harun Masiku atau Freddy Pratama bukan Henri “The Papillon” Charrière, yang terkurung di dalam penjara sadis di sebuah pulau di French Guiana, selama sebelas tahun. Papillon terkurung atas kejahatan yang katanya tidak dilakukannya, setidaknya itulah yang diakui oleh sang terpidana. Berulangkali ia mencoba melarikan diri, usaha terakhirnya berhasil, dengan menggunakan rakit yang dibuatnya dari kelapa dan membuatnya terdampar di Venezuela. Pada 1970, ia menerbitkan novel atau katanya biografi berdasarkan cerita hidupnya (yang sebagian bukan cerita hidupnya) selama di penjara atau kamp kerja paksa, dan tentang usaha pelariannya. Ia menjadi terkenal setelah Steve McQueen (yang berperan sebagai Charrière) dan Dustin Hoffman membintangi film yang diangkat berdasarkan bukunya tersebut yang berjudul Papillon (1973). Apa kaitannya Papillon dengan tulisan kita kali ini atau dengan Indonesia?
Kebetulan dalam film itu, seorang wanita Indonesia, Ratna Assan, ikut sebagai anggota suku sebuah pulau dan bertemu dengan Papillon dalam pelariannya sebelum tertangkap lagi.
Tetapi bukan itu, ini soal buronan yang sedang dicari penegak hukum. Tetapi mengapa harus menyinggung Papillon? Begini;
Melarikan diri adalah insting dasar manusia, yang selalu menghindar apabila merasa terancam oleh sesuatu. Apakah itu membahayakan dirinya dalam bentuk serangan fisik, serangan moral atau kejaran rasa bersalah. Atau bisa jadi lari dari kejaran hukum akibat kejahatan yang dilakukan atau tidak dilakukannya. Semua kita seperti itu, akui sajalah. Tetapi, selalu ada tetapi. Sebagai seorang yang mengaku beradab dan terdidik, sebagai manusia kita punya aturan-aturan tertentu yang mesti kita patuhi, tidak bisa kita langgar semaunya dan mesti tunduk, karena meskipun bersifat abstrak, selalu ada kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang kita miliki.
Menyerah kepada kekuatan yang lebih besar itu bukan berarti kita kalah. Tetapi menunjukkan bahwa kita mau berkompromi dengan aturan-aturan yang kita buat sendiri sebagai bagian dari masyarakat, dan itulah yang menunjukkan kita manusia beradab. Karena beradab adalah menyatu dengan sekitar kita dengan harmoni dan keteraturan. Karena beradab adalah menggabungkan diri kita dengan norma-norma yang mengatur banyak orang, dan penyerahan diri kepada aturan itu pertanda kerendahan hati sebagai manusia.
Jika ingin hidup seenak hati, melawan kepada wewenang norma, tanpa mau tahu benar dan salah, baik dan buruk, sebaiknya kita tidak tinggal di dunia manusia. Jika ingin begitu, hanya dua syarat yang membolehkan kita masuk ke wilayah itu. Pertama, kewenangan itu buruk dan menganiaya. Kedua, aturan itu rusak dan merusak.
Tanpa dua kondisi tersebut, kita harus berada di dalam ketundukan dan kepatuhan kepada hukum, pranata, tata tertib. Sudahlah soal filosofi tak penting itu!
Lalu, mengapa harus lari? Nabi Yunus lari dari kaumnya dan dimakan paus. Nabi Muhammad pernah lari dari kaumnya karena persekusi Quraish yang menyakitkan. Banyak tokoh-tokoh yang melarikan diri karena nyawanya terancam atau untuk menyelamatkan pergerakannya. Lenin lari. Para raja dan pangeran kerajaan-kerajaan Eropa lari tunggang langgang karena serbuan Nazi.
Tetapi sungguh berbeda pelarian tokoh-tokoh itu dibandingkan pelarian para penjahat. Meskipun para tokoh itu juga kadang dianggap penjahat oleh rezim yang mengejar-ngejarnya: mereka lari karena prinsip-prinsip (prinsip itu “benar” atau tidak, itu persoalan lain) yang dipersekusi, karena keyakinan yang teguh dan karena perjuangan akan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri.
Namun kalau kau lari dari kejaran tangan hukum karena kau merampok, atau karena membunuh, atau mencuri uang negara: kau tak lebih kerdil daripada kutu penghisap di kasur-kasur kapuk yang sudah lapuk. Atau kau takut ancaman dari kerabatmu sesama pencuri yang sudah kehilangan kepercayaan kepadamu akibat kau akan ditangkap oleh kucing yang masih muda segar? Siapa tau kau akan buka mulut, bukan? Sebelum peluru atau penjara membungkammu, lebih baik tiarap ke dalam gorong-gorong gelap persembunyian, begitukah?
Buron itu kadang penuh romantisme, kadang penuh marabahaya. Tanyakanlah kepada Bang Pitung yang juga bersembunyi dari Belanda; Tengku Umar dan Tjut Nyak Dien juga lari dari kejaran pemerintah kolonial yang ingin membungkam mereka. Diponegoro, Imam Bonjol, Patimura: tetapi jangan kau samakan mereka dengan perampok. Tanyakan kepada Che Guevara, atau Michael Corleone atau Salvatore Giuliano.
Pelarian para rampok itu mirip tikus yang dikejar-kejar di lorong-lorong got kumuh metropolitan. Terpancang gedung-gedung tinggi tapi kau merayap di antara bau busuk bekas kotoran dan cucian piring, di saat malam kau keluar mencari sebongkah roti atau sekotak pizza.
Meskipun pelarianmu mewah, tetap saja kau seperti curut pengerat yang sudah kehabisan gigi lalu mencoba mencari gigi palsu dengan bersembunnyi didekapan ketakutan dan kekayaan.
Tetapi sebaiknya sudahi saja permainan petak umpet itu. Papillon dan Lenin itu tak pernah sama. Kau dan curut juga sebenarnya juga tak pernah sama, tetapi jika kau pikir telah mengguncang dunia padahal kau belum mencuri lebih banyak dari pada seluruh tikus-tikus di Karibia, Cayman Island, Swiss dan Panama, sebaiknya menyerah saja.
Maladewa atau Kuba, juga bagian dari peradaban manusia, kemanakah akan sembunyi jika nyawamu masih yang satu itu saja, mau diubah dengan wajah Herman Goring atau wajah kematian sekalipun, jika kau buron kasus pencurian kau tetap saja tak lebih tampan dari seekor tikus got, meskipun wajahmu pernah nampang di majalah karena rupamu yang tampan!
Sudah dulu, para buronan sedunia, tirulah Papillon yang lebih berani daripada Lenin. Karena ia tetap dipenjara karena kejahatannya, berusaha melarikan diri karena keteguhan hatinya. Ah, tulisan ini memang tak lebih daripada makian kepada para buron! jangan kau anggap ini filsafat tikus yang sedang merana.
Apa Reaksi Anda?