Review Film Pagar Kawat Berduri : A Timeless Look at Independence
Film klasik Indonesia yang direstorasi dan diputar kembali di layar lebar. Berlatar belakang perang kemerdekaan, film ini mengisahkan pejuang Indonesia, Parman, yang ditangkap tentara Belanda dan berusaha melarikan diri dengan menjalin persahabatan dengan perwira Belanda, Koenen. Film ini dilarang tayang karena dikhawatirkan menimbulkan simpati pada Belanda, meski Presiden Sukarno tidak melihat masalah dalam penayangannya. Dengan fokus pada drama psikologis dan studi karakter, sutradara Asrul Sani menampilkan kompleksitas moral dan karakter yang realistis, membuatnya penting dalam sejarah perfilman Indonesia.
Jika tidak salah ingat, sudah tiga film jadul Indonesia hasil restorasi di layar lebar yang saya tonton. Pertama kali adalah Lewat Djam Malam pada 2012, Tiga Dara pada 2016, dan akhirnya Pagar Kawat Berduri. Saya menonton film ini lewat acara sosialisasi dan screening yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) dan Independen Film Surabaya (Infis) di CGV BG Junction Surabaya, pada 2018 lalu. Sebuah pengalaman luar biasa bisa mengikuti acara seperti ini. Karena saya jadi tahu, diluar sana masih banyak film-film klasik Indonesia berkualitas tinggi menunggu untuk direstorasi agar dapat dinikmati oleh generasi muda. Menurut saya, dengan adanya film ini kita bisa tahu sejarah kita sendiri; bagaimana suasana Indonesia dalam konteks film tersebut. Sehingga banyak nilai edukasi yang dapat diambil.
Sekarang saya bicara tentang filmnya. Berdasarkan berbagai artikel yang saya baca, Pagar Kawat Berduri ketika dirilis pada 1961, tidak diperbolehkan tayang setelah beberapa hari penayangannya. Sutan Takdir Alisjahbana (satrawan penulis Anak Perawan di Sarang Penjamun dan Grotta Azzura) menolak film ini ditayangkan karena kontennya dianggap bisa membuat masyarakat bersimpati pada Belanda. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merupakan salah satu partai besar waktu itu juga menuntut agar film ini tidak tayang di bioskop. Padahal, Presiden Sukarno yang sempat menonton film ini merasa tidak masalah jikalau film ini ditonton oleh masyarakat. Tetapi tetap saja, film ini ditarik peredarannya setelah beberapa hari tayang.
Hingga akhirnya, film ini berhasil direstorasi oleh Pusbang Film dan ditayangkan kembali ke layar lebar.
Ceritanya cukup sederhana. Dikisahkan beberapa pejuang Indonesia yang ditangkap oleh tentara Belanda dan dijebloskan ke penjara akibat memberontak. Meski di dalam penjara, para pejuang tersebut tidak patah semangat. Mereka berusaha mencari akal untuk bisa melarikan diri. Di tengah-tengah mereka, ada Parman (Soekarno M. Noor), seorang pemberontak yang menyamar sebagai guru. Agar bebas, Parman menempuh jalan yang berbeda dari teman-temannya. Ia berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan salah seorang perwira Belanda bernama Koenen (Bernard Ijzerdraat). Dengan demikian, Parman berharap bisa mendapatkan informasi penting agar bisa kabur dari penjara. Namun, semua itu tidak segampang yang dia kira.
Film ini mengambil latar perang kemerdekaan. Alih-alih menampilkan adegan pertempuran yang epik, film ini lebih berfokus pada studi karakter. Bolehlah saya menyebut film ini sebagai sebuah drama psikologis ketimbang film perang. Untuk ukuran tahun 1961, menurut saya Pagar Kawat Berduri ini terasa cukup realistis dari segi karakteristik. Berbeda dengan film-film sejenis yang langsung kelihatan mana yang putih-hitam atau protagonis-antagonis, film ini bermain di ranah abu-abu. Tidak mudah untuk menentukan siapa yang baik maupun yang jahat. Semuanya punya ego dan kepentingan masing-masing. Selain itu, film ini menampilkan tokoh Belanda yang simpatik dan tidak sepenuhnya jahat. Itulah yang membuat film ini dilarang tayang.
Saya suka dengan hubungan antara Parman dengan Koenen yang sering menghabiskan waktu bersama dengan bermain catur. Berkat merekalah film ini mempunyai karakterisasi yang kompleks. Parman digambarkan orang yang penuh perhitungan. Semua ia lakukan dengan hati-hati. Saya paham kalau dia ingin sekali menghabisi Koenen. Tapi di satu sisi, ia tidak sanggup melakukannya karena melihat ada sesuatu yang berbeda dari perwira Belanda itu. Koenen memanglah seorang perwira Belanda yang berbeda. Tidak tampak sedikitpun sifat "penjajah" dalam dirinya. Menurutnya, rakyat Indonesia berhak mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak. Sayangnya, ia tak mampu berbuat banyak karena ia hanyalah "pion". Parman pun semakin terbuka pikirannya bahwa tidak semua orang Belanda itu jahat. Karakter Koenen pun mengingatkan saya pada karakter yang diperankan El Manik di film November 1828, yang menaruh simpati kepada rakyat Indonesia.
Saat mendengar Koenen melontarkan kata "pion", tiba-tiba saya kepikiran dengan adegan bermain catur yang sempat disinggung sebelumnya. Apakah adegan itu merupakan representasi dari keadaan dua karakter utama tersebut? Karena mereka diibaratkan sebagai "pion" bagi kekuasaan yang lebih besar. Jika hal simbolis tersebut memang disengaja, artinya bahwa Asrul Sani benar-benar piawai menempatkann detail di film ini. Makna "pion" itu semakin dikuatkan saat adegan Koenen bertemu atasannya. Sang atasan kesal melihat sikap kasihan Koenen terhadap rakyat Indonesia. Pada saat yang bersamaan, sang atasan mengungkapkan mengapa ia benci kepada rakyat Indonesia. Menurutnya, kalau para pejuang itu mati, mereka akan dianggap sebagai pahlawan dan dikenang banyak orang. Namun, kalau tentara Belanda yang mati, mereka tidak akan dianggap pahlawan dan akan dibenci karena tujuan mereka yang semata-mata ingin menguasai kekayaan alam Indonesia. Akibatnya, Koenen mengalami konflik batin. Ia jadi bingung apakah pekerjaannya itu adalah misi suci dari Ratu Belanda ataukah hanya tindakan yang tidak bermoral.
Film ini mengambil latar perang kemerdekaan. Alih-alih menampilkan adegan pertempuran yang epik, film ini lebih berfokus pada studi karakter. Bolehlah saya menyebut film ini sebagai sebuah drama psikologis ketimbang film perang. Untuk ukuran tahun 1961, menurut saya Pagar Kawat Berduri ini terasa cukup realistis dari segi karakteristik. Berbeda dengan film-film sejenis yang langsung kelihatan mana yang putih-hitam atau protagonis-antagonis, film ini bermain di ranah abu-abu. Tidak mudah untuk menentukan siapa yang baik maupun yang jahat. Semuanya punya ego dan kepentingan masing-masing. Selain itu, film ini menampilkan tokoh Belanda yang simpatik dan tidak sepenuhnya jahat. Itulah yang membuat film ini dilarang tayang.
Saya suka dengan hubungan antara Parman dengan Koenen yang sering menghabiskan waktu bersama dengan bermain catur. Berkat merekalah film ini mempunyai karakterisasi yang kompleks. Parman digambarkan orang yang penuh perhitungan. Semua ia lakukan dengan hati-hati. Saya paham kalau dia ingin sekali menghabisi Koenen. Tapi di satu sisi, ia tidak sanggup melakukannya karena melihat ada sesuatu yang berbeda dari perwira Belanda itu. Koenen memanglah seorang perwira Belanda yang berbeda. Tidak tampak sedikitpun sifat "penjajah" dalam dirinya. Menurutnya, rakyat Indonesia berhak mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak. Sayangnya, ia tak mampu berbuat banyak karena ia hanyalah "pion". Parman pun semakin terbuka pikirannya bahwa tidak semua orang Belanda itu jahat. Karakter Koenen pun mengingatkan saya pada karakter yang diperankan El Manik di film November 1828, yang menaruh simpati kepada rakyat Indonesia.
Saat mendengar Koenen melontarkan kata "pion", tiba-tiba saya kepikiran dengan adegan bermain catur yang sempat disinggung sebelumnya. Apakah adegan itu merupakan representasi dari keadaan dua karakter utama tersebut? Karena mereka diibaratkan sebagai "pion" bagi kekuasaan yang lebih besar. Jika hal simbolis tersebut memang disengaja, artinya bahwa Asrul Sani benar-benar piawai menempatkann detail di film ini. Makna "pion" itu semakin dikuatkan saat adegan Koenen bertemu atasannya. Sang atasan kesal melihat sikap kasihan Koenen terhadap rakyat Indonesia. Pada saat yang bersamaan, sang atasan mengungkapkan mengapa ia benci kepada rakyat Indonesia. Menurutnya, kalau para pejuang itu mati, mereka akan dianggap sebagai pahlawan dan dikenang banyak orang. Namun, kalau tentara Belanda yang mati, mereka tidak akan dianggap pahlawan dan akan dibenci karena tujuan mereka yang semata-mata ingin menguasai kekayaan alam Indonesia. Akibatnya, Koenen mengalami konflik batin. Ia jadi bingung apakah pekerjaannya itu adalah misi suci dari Ratu Belanda ataukah hanya tindakan yang tidak bermoral.
Asrul Sani sepertinya ingin penonton merenungkan kembali makna dari sebuah perjuangan. Beliau menyisipkan ambiguitas moral ke dalam kata "perjuangan". Ada satu karakter pejuang yang seringkali dimintai istrinya untuk menyerah, dan kembali pulang. Namun, lelaki tersebut menolak mentah-mentah ajakan istrinya. Jika ia menuruti permintaan istrinya, ia merasa akan menjadi hina. Lelaki itu tidak ingin anak-cucunya mengenang dirinya sebagai pecundang atau pengecut. Ia tetap bersikeras menjadi tawanan Belanda dan rela meninggalkan istrinya yang hamil. Mungkin Asrul Sani ingin penonton memikirkan kembali apakah berjuang keras demi bangsa dan negara adalah tindakan yang mulia dan bukan tindakan yang bodoh?
Setelah menonton film ini, saya merasa kalau Pagar Kawat Berduri adalah film yang penting bagi perfilman Indonesia. Karena film ini berbeda dengan film sejarah kebanyakan pada waktu itu. Seandainya dikerjakan oleh sutradara lain, Pagar Kawat Berduri mungkin akan menjadi film yang berfokus sebatas pada perangnya saja. Namun di tangan Asrul Sani, film ini dikemas menjadi sebuah drama psikologis yang berfokus pada permainan karakterisasi dan psikologis karakternya. Film ini bukan sekedar menceritakan perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Ada sesuatu yang lebih kompleks di dalamnya. Semoga saja film ini dirilis secara luas agar masyarakat Indonesia bisa berkesempatan menyaksikan sejarah mereka dalam format audio-visual.
Setelah menonton film ini, saya merasa kalau Pagar Kawat Berduri adalah film yang penting bagi perfilman Indonesia. Karena film ini berbeda dengan film sejarah kebanyakan pada waktu itu. Seandainya dikerjakan oleh sutradara lain, Pagar Kawat Berduri mungkin akan menjadi film yang berfokus sebatas pada perangnya saja. Namun di tangan Asrul Sani, film ini dikemas menjadi sebuah drama psikologis yang berfokus pada permainan karakterisasi dan psikologis karakternya. Film ini bukan sekedar menceritakan perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Ada sesuatu yang lebih kompleks di dalamnya. Semoga saja film ini dirilis secara luas agar masyarakat Indonesia bisa berkesempatan menyaksikan sejarah mereka dalam format audio-visual.
Apa Reaksi Anda?