Review Film November 1828: Negeri Para Maling!
Perang Diponegoro adalah perang besar di Jawa (1825-1830) melawan Belanda yang dipimpin Jenderal De Kock dan Pangeran Diponegoro. Perang ini menelan banyak korban, dengan 200.000 penduduk Jawa dan 15.000 tentara Belanda tewas. Pangeran Diponegoro memprotes pembangunan jalan oleh Belanda yang melintasi makam leluhurnya. Sutradara Teguh Karya mengangkat peristiwa ini dalam film dengan karakter fiksi berlatar perang tersebut. Film ini menampilkan akting hebat dari Slamet Rahardjo dan El Manik, serta memenangkan enam Piala Citra. Teguh Karya menyajikan drama psikologis dengan pendalaman karakter yang mendalam, menggabungkan adegan perang dengan konflik batin para tokohnya.
Menurut dari artikel sejarah yang pernah saya baca, Perang Diponegoro adalah sebuah peperangan besar yang berlangsung selama lima tahun (1825 - 1830) di Jawa. Makanya, perang ini juga di sebut juga dengan nama Perang Jawa. Salah satu perang terbesar yang terpaksa dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Perang ini melibatkan pasukan Belanda yang di pimpin Jenderal De Kock melawan pasukan dan penduduk Jawa di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro. Sebanyak 200.000 penduduk Jawa tewas. Sedangkan di pihak Belanda, 8.000 tentara kolonial dan 7000 serdadu pribumi meregang nyawa. Semua kekacauan ini dipicu oleh protes Pangeran Diponegoro atas pembangunan jalan oleh yang melintasi makam leluhurnya.
Perang bersejarah ini difilmkan oleh sutradara sekaligus penulis legendaris Indonesia, Teguh Karya dan dirilis pada 1979. Mungkin di tangan sutradara lain film ini akan sekedar mengisahkan tentang perlawanan rakyat Jawa terhadap pasukan Belanda. Tapi, hei! Ini filmnya Teguh Karya. Di tangan dinginnya alih-alih mengadaptasi langsung sejarah Perang Diponegoro, beliau malah membuat film yang berisikan karakter-karakter fiksi namun berlatarkan perang tersebut. Dibintangi oleh aktor dan aktris jempolan Indonesia seperti Slamet Rahardjo, Jenny Rachman, El Manik dan lain-lain, mereka berhasil menunjukkan akting level Kyubi. Film ini memenangkan 6 Piala Citra untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Teguh Karya), Tata Sinematografi Terbaik (Tantra Surjadi), Tata Musik Terbaik (Franki Raden, Sardono W. Kusumo, Slamet Rahardjo), Tata Artistik Terbaik (Benny Benhardi, Slamet Rahardjo), dan Pemeran Pembantu Pria Terbaik (El Manik). Film ini juga menghabiskan dana yang besar pada zamannya, yaitu Rp 240 juta. Menjadikannya salah satu film Indonesia termahal sepanjang sejarah apabila memperhitungkan inflasi (sekitar Rp.8,9 Milyar untuk kurs 2024).
Seperti judulnya, film ini mengambil setting waktu pada November tahun 1828 di sebuah desa kecil bernama Sambiroto. Ceritanya tergolong simple. Kita akan dikenalkan dengan dua orang Belanda, Kapiten van der Borst (Slamet Rahardjo-dengan make up luar biasa sehingga kelihatan bule) dan Letnan van Aken (El Manik) yang di utus oleh petinggi-petingginya untuk mencari informasi tentang persembunyian Sentot Prawirodirjo yang merupakan salah seorang panglima perang bawahan Pangeran Diponegoro. Kemudian ada seorang penduduk desa yang gila harta bernama Jayangwirono (Rachmat Hidayat) menghadap kepada van der Borst dan menyampaikan kalau Kromoludiro (Maruli Sitompul) sebenernya tahu di mana Sentot berada. Kromoludiro akhirnya ditangkap dan di siksa dan pihak Belanda pun menyandera keluarganya di rumahnya.
Sama-sama sebagai perwira, van der Borst dan van Aken punya prinsip yang berbeda. van der Borst sangat berambisi untuk menangkap Sentot Prawirodirjo. Ia menghalalkan segala cara dan tidak segan-segan seandainya harus membunuh kalau tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Berbeda jauh dengan van Aken. Ia lebih menyukai diplomasi ketimbang pemaksaan maupun kekerasan dan punya rasa kasihan terhadap penduduk pribumi. Ia tidak ingin Belanda dikenang sejarah sebagai bangsa yang keji dan tidak berperikemanusiaan (spoiler begins: Akhirnya kita akan tahu kalau mereka berdua sama-sama berdarah Indo-Belanda. Alasan kenapa van der Borst sangat ambisius adalah ingin menyenangkan atasan-atasannya untuk membuktikan ke-Belanda-annya. Di ceritakan bahwa seorang berdarah Indo-Belanda sulit untuk mendapatkan jabatan yang tinggi. spoiler ends).
Dalam sebuah film epic biasanya ditampilkan adegan-adegan pertempuran yang megah. Well, film ini punya adegan perang itu. Namun, pertempuran tersebut tidak tampil dalam skala yang besar. Disinilah kejeniusan seorang Teguh Karya. Dia dengan kerennya malah menulis cerita yang sarat pendalaman psikologis karakter-karakternya. Yes, beliau berhasil menampilkan sebuah psychological-drama disini. Tidak ada baik dan jahat atau protagonis dan antagonis disini. Batasnya tipis banget. Setiap karakter punya motivasi sendiri-sendiri. Lihat aja adegan ketika van der Borst sama van Aken berdebat mengemukakan prinsip masing-masing yang terasa intense. Masyarakat pribumi yang diam-diam berusaha menyusun rencana untuk menyingkirkan Belanda juga terasa suspense-nya. Jujur, paling suka sama adegan yang melibatkan para penari Jathilan. Mungkin kita tidak bakal mengira kalau puncaknya bakal BOOM! Teguh Karya mampu mengemasnya secara rapi. Tidak lupa penampilan kocak dari dua serdadu pribumi Jawa, yaitu Kopral Dirun dan Kopral Tukijo yang mampu menyegarkan suasana dengan logat Jawa mereka. Bagian di mana Sunarti bermonolog pun juga keren. Teguh Karya juga memberikan sub-plot percintaan antara Laras dengan Jarot. Namun, tidak terlalu berkembang. Untungnya, tidak sampai mencederai filmnya.
An Indonesian classic epic. It's not just a movie about war between Javanese people and Dutch armies. In my opinion, it's more psychological-drama. There's a character study in it along with a great performance from its actors/actresses. The plot is simple, actually. But, writer/director Teguh Karya could make three-dimensional characters who had their own motivations so they had deep characterization. Review ini saya tutup dengan quote dari Kromoludiro yang agak mencerminkan negara Indonesia sekarang.
"Sebuah pademangan jika terdiri dari banyak maling akan membuat sebuah kabupaten tidak bisa berdiri. Sebuah kabupaten jika terdiri dari banyak maling tidak bisa membuat sebuah kepatihan berdiri. Sebuah kepatihan jika terdiri dari banyak maling tidak bisa membuat sebuah kesultanan berdiri kokoh. Jika penduduk sebagian besar terdiri dari maling, maka lebih baik pulau Jawa ini tenggelam ke dasar laut..."
Apa Reaksi Anda?