Victor Hugo, Notre Dame dan Sekularisme Perancis
Sekularisme yang dihadirkan oleh Revolusi Perancis adalah sekularisme yang sangat radikal, bersifat Anti-Gereja, Anti-Pendeta, bahkan cenderung anti agama. Dari revolusi tersebut juga lahir gerakan pemujaan kepada akal pada tingkatan yang sangat fundamental, Cult of Reason (Kultus Akal budi), dan penolakan secara menyeluruh terhadap doktrin-doktrin agama dan aparatusnya, seperti pendeta, uskup, institusi relijius, dan tentu saja kepada bangunan fisiknya: Gereja.
Perusakan bangunan dan simbol-simbol relijius juga diarahkan kepada Notre Dame, katedral kebanggaan Kota Paris. Notre Dame resmi diubah menjadi tempat pemujaan kepada akal dan budi, kemudian menjadi Cult of Supreme Being, yang bisa disebut sebagai agama baru kaum revolusioner. Harta katedral dijarah, benda-benda seni dihancurkan. 28 patung raja-raja yang diceritakan oleh Injil, yang oleh “kaum tercerahkan” itu dikira sebagai patung raja-raja Perancis, dipenggal kepalanya. Patung Bunda Maria diganti dengan patung Dewi Liberti. Lonceng besar Notre Dame hampir saja dilebur. Akhirnya bangunan Gotik berusia hampir setengah abad saat itu, dijadikan gudang makanan dan tempat berbagai aktifitas sosial non-relijius lainnya. Itulah warisan sekularisme yang kental di Perancis hingga saat ini. Sebuah anekdot menyebut demokrasi dan sekularisme Perancis menganut: “freedom from religion" (bebas dari agama, semakna ketika kita menyebut ‘bebas dari asap rokok’)”, bukan freedom of religion atau kebebasan beragama.
Penobatan Napoleon sebagai Kaisar di Notre Dame oleh Jacques-Louis David, 1804
Untunglah The Reign of Terror dari Robespierre dan Revolusi Perancis tidak berlangsung lama. Napoleon memulihkan status katedral Notre Dame. Si Jenderal menobatkan dirinya sebagai kaisar Perancis dan seluruh tanah jajahannya di Notre Dame yang Agung. Namun demikian katedral yang sudah rusak itu diabaikan saja, tidak diperbaiki dan dirawat.
Pada awal abad ke-19, gereja itu masih berfungsi, tetapi separuh hancur di bagian dalam, dan rusak parah di bagian luar. Pada 1831, seorang sastrawan besar Perancis, penulis Les Miserables yang terkenal itu, menerbitkan novel berjudul Notre Dame de Paris, di seluruh dunia lebih dikenal sebagai The Hunchback of Notre Dame pada 1831. Niat utama sang maestro aliran romantis itu adalah menggugah kesadaran masyarakat Paris akan keindahan, dan pentingnya menjaga warisan arsitektur Gotik itu dari penghancuran berkelanjutan yang dilakukan oleh kaum sekuler radikal Perancis.
The Hunchback of Notre Dame menggunakan Notre Dame sebagai setting utamanya, serta wilayah-wilayah kelam kota Paris yang dikuasai oleh gerombolan pencopet, penipu dan pengemis yang dipimpin oleh seorang raja pengemis yang menguasai mereka. Meski Hugo mencintai arsitektur Notre Dame, tapi sentimennya kepada gereja tidak bisa dibilang positif. Tokoh antagonis dari novel itu adalah Archdeacon Claude Frollo, seorang pendeta utama yang licik dan jahat. Frollo hampir saja memusnahkan Notre Dame karena cinta terpendamnya kepada si cantik Esmeralda dan kebenciannya kepada si Bongkok Quasimodo.
Notre Dame terbakar cukup hebat pada 19 April 2019, dan sudah direnovasi kembali. Namun sentimen sekularisme era Revolusi Perancis tetap subur. Sedikit gereja yang dimusnahkan saat para pejuang Revolusi Perancis menjadi radikal. Korban terbesarnya tetap saja: puluhan ribu jiwa manusia.
Apa Reaksi Anda?