Prasangka dan Politik Kambing Hitam
Kita hanya terlalu suka mencari kambing hitam atas segala masalah, dan dalam politik kita menemukan festivalnya: festival penuh prejudice dan prasangka.
Jika hidup di rimba, seorang diri, semenjak kecil tak pernah tahu selain diri sendiri, bertemankan hewan nan tak bicara, yang mendengus dan mengaum untuk menandakan dirinya hadir, maka yang ada di dalam jiwa, adalah kesepian dan kebuasan rimba raya. Sang Tarzan tak akan begitu mengenal banyak cerita. Hanya melihat sang pemangsa menakhlukkan buruannya, belajar melindungi diri dari ancaman kebuasan itu. Hanya dua kemungkinan pada hukum rimba, memangsa dan dimangsa atau hidup berdampingan dengan sekutu yang melindungi dan dilindungi.
Lain lagi rimba raya yang bernama masyarakat manusia. Di sini tak ada akar menjalar untuk bergelantungan ketika ingin lari dari kejaran predator. Di sini ada sekumpulan manusia dan kerabatnya sesama manusia. Yang telah belajar menjadikan alam sebagai pemenuhan kebutuhan dan kerakusan. Tempat hubungan sesama manusia tidak sesederhana dengusan dan auman rimba raya. Kompleksitas hubungan antar makhluk yang sangat dinamis dan progresif. Kemajuan mekanis yang sangat hebat, infrastruktur yang sangat maju dan teknologi ditemukan dengan algoritma yang semakin rumit namun menyederhanakan kerja-kerja manusia.
Ada kontras yang sangat tinggi antara rimba raya dan masyarakat manusia. Namun kebuasan tak pernah hilang dari kompleksitas kemanusiaan kita. Semenjak cerita Adam dan Hawa beserta anak-anaknya atau jika ingin, semenjak para Neandhertal masih berjalan terbungkuk sebelum berevolusi menjadi Sapiens, kebuasan yang sama tuanya dengan pelacuran, hidup abadi di antara masyarakat manusia yang telah maju dan begitu kaya.
Anda dan saya mengenal prasangka, syak wasangka, purbasangka jika anda berkenan menyebutnya. Ratusan ribu tahun atau ribuan tahun lalu, sekena keyakinan kita menyebut rentang sejarahnya, jika layak disebut sejarah, Qabil (Qain dengan lain nama ia disebut) membunuh Habil (atau Abel) melalui batunya, karena syak wasangka. Qabil membunuh sang adik karena prasangka atas ketidak adilan ayahnya. Ia tak mampu membuktikan bahwa ia diperlakukan tidak adil, tetapi prasangka mengalahkan segalanya. Darah tertumpah. Sejarang panjang fratricide dimulai: saudara membunuh saudara sendiri.
Kisah itu berulang di lain tempat dan berbeda waktu. Raja berprasangka, banyak yang ingin merebut tahtanya, lalu menggunakan segala cara bahkan membunuh dan membantai, untuk mempertahankannya. Seorang maniak menggelorakan revolusi, lalu membunuhi jutaan saudaranya sesama manusia atas prasangka bahwa mereka mengkhianati ideologinya. Seorang gila menjadi Sang Pemimpin lalu mengkremasi hidup-hidup jutaan manusia karena prasangka rasialnya yang mendalam, dan jutaan Yahudi di Eropa kemput atas kebuasannya.
Manusia terkulai lemah tanpa nyawa, berkubur di sungai-sungai, terbenam di pulau pembuangan atau lenyap di malam gulita lalu tanpa kabar lagi bahkan setelah puluhan tahun berlalu, karena prasangka politik yang durjana.
Jatuhkan pandangan kita kepada seorang manusia saja. Tanpa malu mempertanyakan di hatinya yang penuh rindu akan kesetiaan kekasihnya. Menduga-duga tanpa henti, mencemburui dengan buta. Ada pula mencemburui saudaranya karena pembagian harta yang bahkan bukan miliknya, setelah ayah atau ibu yang mati; suami hilang percaya pada istri, istri penuh dendam kepada suami lalu membakar pasangan hidupnya: karena prasangka. Bayangkanlah betapa banyak kekasih pencemburu, pergi dan tak kembali lagi atau menahan hati penuh kegelisahan dalam sebuah hubungan. Manusia menjadi resah dan hidup tiada tenteram dibuatnya. Adik membunuh kakak, saudara menjadi jauh; rakyat mengutuk pemerintah, pemerintah gelisah karena hendak dijatuhkan: kadang bukan ketidakadilan penyebabnya, tapi monster prasangka sedang berkuasa.
Kita belokkan kesombongan paling kuno. Perasaan diri lebih mulia dari ras yang lainnya. Budak-budak diperjualbelikan bagai barang dan komoditas. Manusia hidup dibelenggu bagai binatang bahkan dianggap lebih hina. Karena kulit mereka berwarna lebih gelap daripada yang menjualnya. Afrika menjadi saksi gelap perbudakan. Timur Tengah pernah makmur karena budak-budak. Eropa mengeruk kekayaan Afrika dengan rakusnya karena menganggap manusia berkulit hitam di sana bukan sebagai manusia. Mereka ditarik-tarik, dikandangkan bagai hewan tak bermarwah. Amerika Serikat dalam Declaration of Independence-nya menyatakan "men born equal", tetapi tetap bersimbah darah di Perang Saudara, karena manusia berkulit hitam dianggap properti. Ku Klux Klan membunuh kulit putih dan hitam karena rasialisme. Penggantungan, pencambukan dan penindasan masih berlangsung di selatan Amerika Serikat hingga ke abad 20. Hingga kini, Amerika Serikat masih dilanda demam rasial yang buruk.
Kita di Indonesia, yang menyebut diri sebagai Orang Timur yang berbudaya, santun dan ramah. Sekumpulan orang dengan mudah membakar seorang anak manusia di pinggiran jalan, karena dalam sangka-sangkanya sebuah dompet setara dengan jiwa seorang manusia. Begal dikeroyok sampai mati karena menyangka, sebuah sepeda motor lebih berharga daripada ayah seorang anak. Kejahatan dijadikan alasan untuk menjadi buas karena persangkaan dirinya akan menjadi lebih baik setelah menuntaskan hidup seorang pencopet hina.
Mei 1998, orang-orang berkulit kuning diburu, gadis-gadis diperkosa, ribuan orang hilang nyawa dalam sehari, ribuan lagi eksodus keluar negeri. Hati penuh prasangka yang dipupuk dengan kebencian dan disirami oleh dendam yang tak beralasan. Akal menjadi berkerut, dunia menjadi sempit dan hati membara dipenuhi angkara murka, karena prasangka rasial yang buas.
Kadang teorema dan hipotesis dibuat, fitnah digalakkan untuk menunjukkan bahwa dendan yang dipendam selama ini benar adanya. China (maaf) diidentikkan dengan bangsa penguras kekayaan, perusak ekonomi pribumi dan mereka layak dibenci bahkan ada yang berkata "layak dimusnahkan.." Padahal semudah mempelajari dua dikalikan dua, seberat apakah memahami bahwa yang membedakan jahat dan baik, kaya dan miskin, bulus dan lurus, mulia dan hina bukan karena kulit atau gelapnya bola mata. Semuanya itu adalah akibat kerja. Kerja baik akan menghasilkan baik, kerja buruk membuat buruk, perilaku hina membuat hina, perilaku mulia membuat mulia, rajin pangkal kaya, malas akan membuat derita.
Dan begitulah, jika anda diracuni oleh si PURBASANGKA, kebencian membeludak bagai bandang. Fitnah menjadi manis, intelektualitas tergadai, pendidikan tinggi menjadi mubazir, jelata menjadi semakin buas, politisi menjadi liar dan para pencinta menjadi penuh benci. Namun anda jangan berkata, bahwa kita perlu menyalahkan si Purbasangka, tidak. Kita hanya butuh menyalahkan dan menunjuk kepada siapa saja yang lebih suka kepada Si Buruk Sangka, anda tahu siapa, bukan singa atau ular beludak, bukan pula banteng atau seekor anaconda. Langsung katakan tersangka dan terpidananya: adalah makhluk bernama MANUSIA…
Apa Reaksi Anda?