Pemerintahan, Antara Kambing dan Serigala
Dalam demokrasi sekalipun, tidak mesti membuat kita kehilangan rasa hormat, hanya karena kebebasan besar yang telah diberikan oleh sistem tersebut. Mutualisme rasa hormat antara penggembala dan gembalanya adalah kunci keharmonisan sistem politik.
"Penggembala kambing itu menjaga kambing dari serigala. Maka bagaimanakah apabila para penggembala itu menjadi serigala bagi kambing..?" ~ Pepatah Arab
Kepemimpinan itu secara mutlak bertugas memelihara kepentingan khalayak yang dipimpinnya; kekayaan dan keutuhan teritori di mana realm politik itu berada. Negara adalah kesatuan dari wilayah, warga negara dan pemerintahan, sistem hukum dan sistem politiknya. Untuk itulah kepemimpinan ada. Menjaga kepentingan negara untuk tetap utuh, aman, tenteram, sejahtera dan berkeadilan.
Terkadang demokrasi sering menyesatkan cara kita berpikir bahwa, sistem politik itu semata-mata ditujukan untuk sepenuhnya melayani kepentingan rakyat. Menjaga keutuhan wilayah, keamanan dan kekayaan negara hanyalah subsidiari dari tugas-tugas kepemimpinan dan pemerintahan. Padahal rakyat hanya salah satu dari elemen-elemen negara yang harus dilayani oleh sebuah sistem politik.
Namun, kita tidak akan membahas itu, kita akan membahas esensi pemerintahan yang terkait erat dengan penggembala dan perkambingan.
Secara sederhana, sebagaimana para penggembala, para pemimpin bertanggung jawab untuk keselamatan kita: bagaimana kita bisa mencari penghidupan yang layak dan dengan layak; menghindari ancaman musuh, dan apabila tidak bisa menghindar dari ancaman, maka para pemimpin mesti mempertaruhkan dirinya untuk kita dari serangan itu. Kepada pemerintahan kita mandatkan tugas-tugas tersebut. Rakyat adalah entitas yang dilayani. Warga negara yang wajib mereka senangkan. Untuk menyenangkan dan menyejahterakan kita, mereka kita beri gaji dan pendapatan agar mereka tidak perlu pusing lagi memikirkan keluarganya, di mana waktu mereka telah dihabiskan buat melayani kita.
Ada pejabat publik, pejabat administratif, kehakiman, kepolisian, militer, para legislator dan segala macamnya. Birokrasinya diperkuat oleh aparatur sipil negara atau pegawai negeri dari tingkatan teratas hingga paling bawah. Para birokrat ini melayani tiga cabang pemerintahan, trias politika, yaitu yudikatif, eksekutif dan legislatif. Model pemerintahan yang dirancang untuk memampukan kondisi saling kontrol antara ketiganya, agar fungsi-fungsi pemerintahan bisa berjalan normal dan pelayanan publik menjadi maksimal serta terhindar dari penyelewengan.
Sederhana bukan? Tidak ada yang rumit dalam teorikepemimpinan dan pemerintahan negara, teknisnya saja yang rumit. Jika para profesor dan ilmuwan politik mengaji teori-teori itu dengan ratusan halaman jurnal atau buku, maka hakikatnya tidak akan jauh-jauh dari apa yang disebutkan di atas. Mereka, para pejabat dan birokrat adalah pelayan bagi kepentingan rakyat, kekayaannya dan keutuhan wilayah dan kedaulatannya.
Pelayan tidak dilayani. Pelayan tidak diberi penghormatan melebihi statusnya sebagai manusia. Ya, ada pelayan yang digaji besar. Namun mereka tetaplah pelayan. Bukan berarti kita diajak untuk melecehkan status mereka sebagai pelayan, tentu saja tidak. Mereka manusia. Dan status paling terhormat yang diciptakan Tuhan adalah sebagai manusia. Namun sebagai manusia haruslah tahu tempat dan kedudukannya.
Bukankah aneh jika kita pergi ke restoran lantas diminta oleh para pelayannya untuk mengambil sendiri peralatan makan di dapur restoran? Nah, tidakkah aneh menurut anda bila saya harus membungkuk berhadapan dengan para pelayan saya. Jika saya masih sehat otak dan kewarasan, saya akan berdiri tegak dihadapan seorang Ketua RT. Saya tidak akan pernah membungkukkan badan kepada seorang Bupati. Saya tidak akan mematahkan leher tertunduk kepada seorang Gubernur. Dan sungguh kalau perlu saya akan meminta seorang presiden untuk mencium tangan saya sebagai warga negara. Mereka sudah diberikan fasilitas untuk bekerja, rumah dinas, mobil dinas, gaji, beras, biaya telekomunikasi dan fasilitas penerbangan oleh negara dan kita, sebagai rakyat yang memiliki kekayaan bangsa ini.
Bila mereka sebagai pemimpin, pegawai negeri, polisi, militer dan anggota parlemen yang busuk-busuk itu mencoba meminta penghormatan lebih kepada dirinya melebihi statusnya sebagai manusia, maka saya akan mengatakan, mereka orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu mana sawah dan pematang.
Tentu saja kita berharap kepada mereka yang dipercayakan keuangan negara, keamanan negara, ketertiban umum dan kemaslahatan kita, tidak menjadi perampok terhadap kepercayaan itu. Jika demikian, mereka tidak layak disebut koruptor. Mereka akan kita sebut sebagai, Maling. Jika seorang polisi memperjualbelikan narkoba maka mereka adalah pengkhianat. Jika hakim menerima suap, maka sang hakim adalah sampah. Bila pegawai negeri malah minta dihormati lebih, dan mengabaikan kita ketika meminta pelayanan, maka saya akan sebut mereka itu adalah kacung tak tahu diri. Kejam memang dunia tidak sempurna ini, sebagaiman rasa hormat mesti mutual; penghakimanpun juga harus begitu.
Para pemimpin harus lebih hati-hati untuk menjaga kepentingan kita. Jika mereka berkhianat; bersolek melebihi gaji mereka dan mengambilnya dari kas rakyat; membeli kendaraan mewah dari uang rakyat, atau; pegawai negeri yang hidup berlimpah ruah bak pangeran, berpelesiran dan naik haji dari hasil rampokan uang kita, maka sudah selayaknya untuk mereka, kita sampirkan jubah berbulu domba, dan giring mereka ke kandang kambing, sebagai simbol pengkhianatan para penggembala.
Serigala memang takut pada gembala. Mungkin karena sang penggembala memiliki senapan. Jika, penggembala mengkhianati para kambing, maka kambing harus meminta senapan sang penggembala dan melibasnya, lalu ditodong untuk dibawa pulang ke kandang. Karena lebih baik kambing yang menjaga dirinya sendiri, dan sang penggembala sebaiknya dikandangkan saja.
Tetapi, sekali lagi tapi, sayangnya, kita tidak hidup di dunia sempurna. Dunia sempurna yang kita bayangkan: di mana para pelayan adalah robot-robot yang tidak memiliki rasa, entitas yang diprogram untuk patuh dan tunduk kepada perintah. Di dunia yang tidak sempurna ini, kita memiliki ragam norma kepatutan dan keadaban. Itulah flaw kita sebagai manusia: yang anehnya menginginkan sistem politik yang mahasempurna. Kita ternyata memiliki rasa, emosi, dan kebutuhan untuk saling menghormati dan menghargai. Kita tidak mungkin menilai seseorang hanya seharga “material” yang membentuk tubuh dan raga biologis saja. Perasaaan, emosi, cinta hingga budaya, adab, sopan santun, etika dan moral, adalah flaws yang justru membuat peradaban kita yang tidak sempurna ini menjadi manis, dan tanpa flaws itu, peradaban kita tidak akan sempurna karenanya. Inilah paradoks terbesar dalam peradaban manusia dan sistem politik yang dibentuknya.
Sebagai manusia berbudaya, kita juga diharuskan memiliki rasa hormat kepada orang yang telah melayani kita. Tidakkah kita memiliki kewajiban untuk menghormati orangtua, karena mereka telah melayani, mengurus dan merawat dengan setia hingga usia dewasa, bahkan bagi sebagian lagi, ada orang tua yang merawat anak-anaknya yang sakit hingga kematian menjelang tiba. Kewajiban itu tetap ada karena pelayanan yang telah mereka berikan sebagai orang tua, meski kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai anak mereka.
Begitu juga, para birokrat, pejabat negara, anggota parlemen, karena mereka telah memberikan pelayanan, selayaknya manusia beradab dan berbudaya, rasa hormat kepada para pemimpin, dan para penyelenggara negara adalah salah satu ciri yang menunjukkan kita adalah manusia berperadaban.
Kritik dan sikap oposan tidak membuat kita memiliki hak untuk memaki, mem-fitnah dan merendahkan martabat dari orang-orang yang telah kita beri kepercayaan tersebut. Dalam demokrasi sekalipun, tidak mesti membuat kita kehilangan rasa hormat, hanya karena kebebasan besar yang telah diberikan oleh sistem tersebut. Mutualisme rasa hormat antara penggembala dan gembalanya adalah kunci keharmonisan sistem politik.
Apa Reaksi Anda?