Manusia dan Gunung, Api

Apapun jenisnya. Namun gunung-gunung yang meledak memberi kita sejarah dan pelajaran, memberi kita kebijaksanaan. Karena sebesar apa pun kesombongan kita, keangkuhan yang coba kita teriakkan, gunung-gunung yang berbaris bukan wilayah taklukan, mereka meminta bersahabat, memahami dan saling mengerti. Karena gunung seperti kita, sering meledak dan mengamuk. Tak perlu mengutuk gunung, tak perlu membenci gunung. Bukankah perang membunuh lebih banyak manusia dan menghancurkan peradaban?

Nov 12, 2024 - 09:55
 0  14
Manusia dan Gunung, Api
Lava flows from Vesuvius in 1760. Pietro Fabris, 1776,

Dua hari lalu Gunung Lewotobi di Nusa Tenggara Timur meletus. Dan bencana kembali menyambangi kita, sedetik, sehari dan berhari-hari, duka akan menyelimuti. Marilah sedikit kita bercerita tentang gunung.

 Negeri ini dipenuhi oleh gunung api, fenomena letusan gunung tentu saja bukan hal asing lagi bagi kita. Dari ujung Aceh hingga ke Papua, gunung api aktif menggelegak magmanya sepanjang waktu menunggu waktu untuk mengamuk dan memperlihatkan kekuataannya. Gunung api, seperti manusia, hidup dengan kehendak Tuhan dan dinamis, menggelegak, tenang, diam, sekali terbatuk-batuk dan kemudian mengamuk bagai Krakatau, Vesuvius, Tambora dan Toba.

Di masa purba yang kita tak tahu pasti tanggal dan saatnya, gunung-gunung api meledak tanpa ampun menghancurkan dirinya sendiri, menenggelamkan pulau, membunuh kehidupan di sekitarnya, dan kemudian bangkit lagi dengan puncak dan kubah yang baru. Kita mengetahuinya melalui sejarah, geologi dan arkeologi, tetapi sulit untuk disangkal, bahwa amukan para gunung itu memberikan semacam pesona mistis akan kekuatan mahadahsyat yang mengerikan sekaligus, memberikan nostalgia. Mengapa nostalgia? Karena kita mengingatnya dengan cerita-cerita tanpa rasa ngeri, tanpa rasa takut, kadang seperti merindu, lebih lagi dengan penuh pesona.

Namun semua itu tidak menghilangkan besarnya kejahatan amukan gunung api. Milyaran nyawa telah habis ditelannya sejak berjuta-juta tahun lalu. Dan kini, ancaman itu masih juga hadir. Para gunung seakan terus mengawal kita sepanjang sejarah, mengikuti kita dengan diam. Berdiri kokoh di samping kita dengan tenang. Ia tak bergerak tetapi matanya seperti menusuk kepada manusia. dan berkata, “Biarlah kalian melihatku, dengan pesona. Lalu lalang bagai aku tiada dan sesekali mengagumi. Kalian daki punggungku, berlarian, bercinta di atasku, menduga diri kalian begitu tangguh, bermalam di pundakku, berteriak lantang di puncakku, bagai kalian telah menaklukkan diriku. Kalian lihat dari jauh, menyadari aku ada, tetapi kalian lupakan betapa kuatnya aku. Diamlah dan tenanglah manusia, bergembiralah. Dan aku tetap di sini.”

Kemudian ia meledak, kadang dengan peringatan. Lebih sering dengan kejutan. Ketika kita terlelap dalam hening malam, di saat kita bercinta dengan orang tercinta, berselingkuh dengan tetangga, sedang menunggui kerabat yang sakit, atau sedang begadang menonton bola di dini hari yang berkabut dan dingin. Ia meletus, menggeram, mengirim abu panas, memuntahkan dengan kencang magmanya dengan kejam dan perkasa.

Ia tak peduli dengan si baik atau si jahat, ustadz, ulama, pecundang, kaya miskin, muda, tua, cantik atau buruk semua menjadi korban kebuasannya. Dan kerajaan hilang, kampung-kampung lenyap, suami istri kehilangan anak, rumah hangus dilalap magma, gedung-gedung hilang ditelan abu, sawah-sawah binasa, hutan terbakar habis dan hilang. Dan kita terpana saja dari jauh, bersedih bersimpati dengan penuh empati atau mendengus tak peduli sama sekali.

Begitulah gunung dan kita. Bagai musuh dalam selimut yang sesekali mencoba menusuk dengan lihai di saat kita lengah. Dan mati. Kadang mati keduanya. Kita dan gunung.

Selalu saja begitu. Ini pertarungan kita dan gunung. Bukan itu saja, tentang peradaban kita,  manusia bergelimpangan tewas dalam debu dan lahar, di seputar gunung-gunung, setelah gunung dan sebelum gunung. Ketika Tambora meletus, ledakannya membuat dunia tanpa musim panas, langit selalu gelap selama dua tahun lebih, cuaca selalu dingin, panen gagal, bencana kelaparan melanda. Krakatau meletus, puluhan ribu kemput dimakan ajal. Ledakannya terdengar menjelang 5000 km, dahsyat dan luarbiasa mengerikan. Jawa dan Sumatera dipisahkan. Dan, kemudian manusia bangkit lagi. Kejahatan gunung tidak menyurutkan semangat manusia, untuk kembali maju dan terus maju. Manusia selalu saja resilience, jatuh untuk bangkit lagi, musnah untuk berkembang lagi.

Pola kehidupan berubah, kita kehilangan sanak dan keluarga, tanah pertanian hancur, jalan-jalan lenyap. Tetapi kita tetaplah manusia, membangun lagi dari abu, dari kehancuran, dari kehilangan, dari kesedihan, dari kematian dan dari kerabat yang terkubur. Seperti seekor phoenix yang mati menjadi abu dan bangkit lagi dari kematian menjadi burung yang indah rupawan.

Lalu ilmu pengetahuan semakin canggih, kita tidak lagi mudah dikejutkan. Manusia menggali misteri gunung, memahami kegelisahannya, memaknai tanda-tandanya, bersahabat dengan raksasa besar itu, untuk mencoba mengerti amukannya, mengerti magma dan laharnya, akarnya dan berbincang-bincang dengan gunung agar amarahnya tidak lagi banyak membunuh kita.

Dan kita terhindar, menjauh, mengungsi dan menangis. Sering juga kita bisa menghindari kematian masal, menghindari kehancuran peradaban, pergi jauh dari bencana, karena kita mempelajarinya, mengamati-amatinya.

Mensyukuri bencana tentu saja bukan tindakan logis. Apapun jenisnya. Namun gunung-gunung yang meledak memberi kita sejarah dan pelajaran, memberi kita kebijaksanaan. Karena sebesar apa pun kesombongan kita, keangkuhan yang coba kita teriakkan, gunung-gunung yang berbaris bukan wilayah taklukan, mereka meminta bersahabat, memahami dan saling mengerti. Karena gunung seperti kita, sering meledak dan mengamuk. Tak perlu mengutuk gunung, tak perlu membenci gunung. Bukankah perang membunuh lebih banyak manusia dan menghancurkan peradaban?

Ah, kita memang lebih buas daripada gunung, daripada sejuta gunung sekalipun. Kebesaran gunung tak mampu mengalahkan jumlah korban kebuasan manusia. Manusia dan gunung. Tetap saja, kita lebih buas daripada segalanya.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow