Adversus Solem Ne Loquitor
Biarlah, 20 Oktober tahun ini juga kita sudah punya presiden baru. Yang kalah tetap punya tempat di sini. Karena bangsa dan negara ini rumah kita bersama. Adversus solem ne loquitor. Melawan matahari hanya akan membuat kita terbakar, berbicara menantang surya adalah pekerjaan orang gila.
Jika pada suatu ketika kita mengalami suatu kekalahan dalam sebuah pertandingan, maka bagi kita yang biasa bertanding, itu hanyalah sebuah pertandingan. Kita akan menyeka keringat, duduk beristirahat sejenak dan berbincang dengan lawan main sambil bersenda gurau, kemudian kita pulang ke rumah, mandi dan beristirahat. Kemudian ketika malam tiba kita akan tidur dengan nyenyak mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Esok sudah hari yang lain. Kekalahan hanyalah suatu periode sesaat yang tidak akan melukai kita. Sebab pertandingan hanyalah sebuah pertandingan. Tidak membunuhmu atau menjatuhkan martabat diri.
Namun jangan heran, pada sebagian kita, ada yang memiliki nilai-nilai yang berbeda. Karena keberagaman sifat dan karakter sudah wajar pada dunia manusia. Sebuah pertandingan dianggap sebagai pertaruhan marwah dan eksistensi. Mereka menganggap pertandingan ini sebagai medan pertempuran antara dua kekuatan yang harus saling menghancurkan. Membuat lawan tanding sebagai musuh yang mesti ditundukkan dengan segala cara tidak peduli itu curang atau sudah menabrak semua nilai-nilai etika dan norma kepantasan. Bahkan tega menggunakan cara-cara kotor, fitnah dan kebuasan yang tidak masuk akal.
Pertandingan itu bagi mereka adalah sebuah lapangan tempat harga diri lawan mesti dilumat leburkan. Martabat lawan mesti diinjak sehancur-hancurnya dan kemenangan mesti di dapat sebagai sebuah "Total Victory." Yang tersisa hanya saya dan engkau hancurlah sudah. Sering kita melihat pertandingan sepak bola misalnya. Menjatuhkan lawan dengan kekerasan yang terasa keterlaluan padahal itu hanya pertandingan sepak bola. Membuat tulang punggung pemain lawan retak, lutut yang hancur bahkan terkapar hingga menjelang ajal. Masuk akalkah hanya karena ingin menang harus memakai cara seperti itu?
Lain hal dalam sebuah pertarungan politik. Lawan tidak bisa diketok kepalanya secara langsung. Kita tidak bisa menjegal secara harfiah, membuat retak tulang punggung atau mematahkan tulang kaki. Dalam dunia politik pertarungan sedikit beradab. Sedikit beradab dengan maksud tidak berdarah-darah dan tidak ada yang mesti dilarikan ke rumah sakit karena gegar otak. Tapi kekejamannya sama saja. Bahkan kebiadaban pertarungan politik melebihi pertempuran di Waterloo atau Sekigahara.
Jangan khawatir, bagi kita penonton pertempuran politik, yang diceritakan oleh George Clooney dalam filmnya The Ides of March misalnya, hanyalah dongengan buat balita dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya. Dalam dunia politik yang nyata, sebuah parodi bisa dibuat menjadi fakta. Kode genetik seseorang bisa berganti dalam hitungan jam, bahkan dalam angan terliar Watson and Crick sekali pun tidak akan bisa kita temukan. Jika anda mau, rumus Energi yang paling terkenal di dunia, yang dikreasikan oleh manusia paling jenius sepanjang sejarah ilmu pengetahuan akan hilang pangkat duanya dan akan menjadi seperti ini saja:
Ada kalanya para pemainnya bersih. Mereka jujur, tak mempan intimidasi dan kolaborasi jahat, namun tersingkir. Jarang mereka bisa menang. Biasanya si orang baik akan mudah mengaku kalah. Walaupun juga sering dipertahankan dengan gigih sebelum dinyatakan kalah, namun jika kalah, maka ia akan berkata: "Selamat kepada anda, anda sudah memenangi pertarungan ini." Begitulah biasanya.
Mereka akan bergembira dengan kemenangan lawan politiknya, karena mereka adalah pemain di lapangan yang sama. Meskipun sebelum gembira itu datang, tangis lebih dahulu mampir. Air mata dihapus dan senyum kembali datang, berkemas dan kita sama-sama pulang.
Pengecut sebutan yang pantas, pendendam adalah nama yang cukup. Kita tidak perlu khawatir jika sikapnya hanya itu saja. Sering kita lihat, kerusuhan sesudah pertandingan. gelanggang dibakar, pendukung lawan dilempari, saling bunuh dan membunuh dan pada akhirnya chaos di depan mata.
Alangkah indah sebuah pertandingan, jika para petarung itu mengerti bahwa mereka bisa kalah bisa menang. "Adversus solem ne loquitor," kata sebuah pepatah Latin. Secara bebas bisa kita artikan "Jangan berbicara melawan matahari." Karena begitulah kenyataannya sebuah pertandingan, sia-sia melawan kenyataan. Jikalau kalah ya, kalah saja. Membuat tuduhan curang dengan cara yang membabi buta, menyalahkan pengadil dan penyelenggara.
Jika kerusuhan terjadi tentu saja rakyat yang menjadi korban. Karena gelanggang politik berumahkan sebuah bangsa. Penonton adalah penikmat kesejahteraan sebuah pertandingan. Karena hidup sesudah itu tetap berlanjut. Kalah atau menang para kontestan tersebut, bahan bakar mesti tetap dibeli, beras tetap harus ditanak, jalanan akan tetap penuh.
Peserta yang kalah layak kita hormati. Mereka adalah orang-orang terhormat. Kalah dengan cara terhormat. Namun jika ribut-ribut setelahnya, menuduh sana sini, padahal kita sendiri juga sudah berbuat curang. Melepas fitnah, membombardir dengan kampanye paling gelap, mengeliminasi moral dan mendegradasikan harkat martabat manusia, bukankah ini hanya perangai para pecundang?
Sangat elok jika setelahnya mengakui kekalahan, menyadari kesalahan dan jangan lari dari kenyataan: bahwa kekalahan adalah sebuah kemestian. Ingatlah, rakyat sudah cukup lelah, biaya tinggi demokrasi sudah dikeluarkan. Tentara dan polisi sudah memagari kekacauan, biarkan mereka istrahat sejenak dan kembali ke barak. Televisi mesti memperbaiki tayangannya. Kebencian mesti dihapuskan. Fitnah mesti dibuang jauh-jauh.
Biarlah, 20 Oktober tahun ini juga kita sudah punya presiden baru. Yang kalah tetap punya tempat di sini. Karena bangsa dan negara ini rumah kita bersama. Adversus solem ne loquitor. Melawan matahari hanya akan membuat kita terbakar, berbicara menantang surya adalah pekerjaan orang gila. (df/jidpl)
Apa Reaksi Anda?