Penembakan Donald Trump dan Warisan Kekerasan Politik Amerika Serikat
Pembunuhan dan kekerasan politik bukan barang baru bagi Amerika Serikat. Sumber dari petaka itu seringkali adalah polarisasi politik yang sangat tajam. Polarisasi yang terjadi saat ini, adalah warisan pertempuran ideologis masa lalu yang akan selalu mewarnai politik Amerika Serikat.
Penembakan Donald Trump dan Warisan
Kekerasan Politik Amerika Serikat
Tengah hari, 22 November 1963, di Dallas Texas, dalam sebuah iring-iringan meriah, tiba-tiba senapan meletus. Dor. Sekali. Dor sekali lagi, dan lagi, dor! Isi kepalanya berhamburan. Darah memercik ke tubuh istrinya yang malang. Jacky Kennedy mesti melihat isi kepala suaminya sendiri berhamburan di sekitarnya. Tak lama kemudian korban mati di rumah sakit. Kematian John Fitzgerald Kennedy (JFK), membuat Lyndon B. Johnson harus dilantik segera di atas Air Force One, sebagai presiden Amerika Serikat, lalu sejarah dunia berubah.
JFK menjadi abadi di Amerika Serikat, bukan karena pencapaian pemerintahan dan kerja-kerja politiknya yang brilian. Tetapi juga, karena invasi Teluk Babi yang memalukan, krisis Misil Kuba yang hampir membawa dunia ke dalam perang nuklir, skandal-skandal pribadi dan politiknya. Namun lebih daripada itu, JFK menjadi abadi karena ia tewas dalam pembunuhan politik.
Jika kita membuang konteks Perang Saudara dan meletakkan Lincoln pada konteks politik hari ini, tidak ada yang terlalu istimewa dari prestasi Abraham Lincoln. Proklamasi Penghapusan serfdom dilakukan oleh Tsar Alexander II dari Rusia pada 1861 melalui Edict of Emancipation tanpa didahului oleh perang saudara. Perbudakan sudah dianggap sangat kuno di Eropa Barat kala itu. Namun Lincoln dan Amerika Serikat membutuhkan empat tahun perang saudara untuk menghapuskan perbudakan. Perbudakan di Amerika Serikat saat itu adalah bagian dari fitur ideologis, karena itu jugalah penghapusan perbudakan bisa mengantarkan mereka pada perang saudara yang sangat mematikan.
Lincoln tewas dibunuh oleh John Wilkes Booth setelah perang usai di Ford’s Theatre pada 14 April 1865, dan Abraham Lincoln abadi karenanya.
Pembunuhan dan kekerasan politik bukan barang baru bagi Amerika Serikat. Sumber dari petaka itu seringkali adalah polarisasi politik yang sangat tajam. Tentu saja, polarisasi yang terjadi saat ini di sana, juga bukan fenomena baru. Amerika Serikat, yang sangat sukses dengan demokrasinya, adalah salah satu kancah pertempuran ideologis paling mematikan sepanjang sejarah dunia.
Penembakan terhadap Donald Trump hanyalah perulangan kesekian kali dari percobaan dan pembunuhan politik (atau bukan politik?). Presiden James Garfield tewas, meski sempat bertahan selaam tujuh puluh sembilan hari setelah ditembak pada 2 Juli 1881. Presiden William McKinley tewas beberapa hari kemudian setelah ditembak pada 6 September 1901.
Di era yang lebih dekat dengan kita, Presiden Ronald Reagan sempat mengalami luka yang sangat serius akibat penembakan pada dirinya pada 30 Maret 1981 di Washington DC., lebih kurang sebulan setelah ia dilantik menjadi presiden. Meski pembunuhan itu tidak dikategorikan sebagai upaya pembunuhan politik, karena John Hinckley, Jr disebut “hanya” terinspirasi dari film Taxi Driver, dan untuk memberi kesan kepada salah satu aktor film tersebut, Jodi Foster.
Peristiwa penembakan terhadap Donald Trump pada kampanyenya di Pennsylvania adalah peristiwa yang sudah sering “diramalkan” akan terjadi, setidaknya dalam tataran konspiratif. Polarisasi yang sudah eksis, ditambah perilaku politik Donald Trump yang ugal-ugalan, kampanye dan retorika yang sangat divisif; pers Amerika Serikat yang sangat provokatif dan partisan membuat politik Amerika Serikat seperti sebuah kancah berisi magma menggelegak yang menunggu waktu untuk melimpah keluar.
Tentu saja, kekerasan tidak bisa dibenarkan dalam politik. Namun kondisi politik yang sedang menuju titik didihnya di Amerika Serikat, adalah wadah subur bagi kekerasan politik. Sejak peritiwa 6 Januari 2021 lalu, dunia memang sedang menganggap Amerika Serikat sebagai super power sedang tidak baik-baik saja. Di Amerika Serikat dengan politiknya yang "volatile", polarisasi yang semakin tajam, membuat setiap perbincangan politik adalah konfrontasi ideologis yang sangat detrimental. Sehingga percobaan pembunuhan terhadap Donald Trump ini bisa dimengerti, meskipun tentu saja bukan untuk dimaklumi.
Kita harus menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pilpres pada November 2024 nanti akan menentukan nasib Amerika Serikat bahkan dunia beberapa dekade ke depan.
Apa Reaksi Anda?