Kapitalisme dan Sosialisme Kontradiksi Inheren Ekonomi Konstitusional

Jun 10, 2024 - 13:52
 0  20
Kapitalisme dan Sosialisme Kontradiksi Inheren Ekonomi Konstitusional

Pendahuluan. Perdebatan ekonomi dalam konstitusi sudah selesai, selain karena amandemen telah dilakukan, dan kecil kemungkinan untuk dilakukan kembali. Perdebatan-perdebatan yang terjadi seputar model ekonomi melihat kepada hilirnya, menjauh dari akar filosofis mengapa pasal-pasal ekonomi tersebut sampai ditulis oleh Founding Fathers kita. Sejatinya, UUD 1945 adalah dokumen yang dihasilkan oleh pemikir-pemikir muda sosialis dan dikompromikan dengan warna relijiusme Islam di Indonesia. Tetapi, kentalnya rujukan sosialis di dalam dokumen tersebut, tidak dapat dibantahkan.

Celakanya, pada saat amandemen dilakukan di awal milenium baru, tidak seorangpun yang mau mengakui dirinya sebagai seorang sosialis, dan di seberangnya ada tokoh-tokoh yang sangat ketakutan apabila dilabeli sebagi liberal, sehingga pembahasan amendemen itu berlangsung dengan sangat “malu-malu”. Di satu sisi para akademisi yang terlibat dalam pembahasan ingin mengambil “marwah” asli dari ekonomi sosialis yang diusung teks asli, di lain pihak ingin memasukkan liberalisme menyeluruh ke dalam sistem ekonomi (dalam hal ini kapitalisme); sebagaimana kehendak reformasi itu sendiri. Fitur demokrasi liberal sangat terang benderang, amendemen di bidang ekonomi disamarkan dengan sedemikian rupa agar terlihat tidak liberal meskipun sebenarnya, bertendensi sangat kuta untuk meng-estbablish liberalisme ekonomi. Sehingga konstitusi yang ada sekarang sangat kental dengan nilai-nilai liberalisme, meski denga bermanis-manis dianggap sebagai representasi dari nilai-nilai Pancasila. Kompromi yang luarbiasa secara politis, tetapi meninggalkan aroma tak sedapnya hingga kini.

UUD 1945: Dokumen yang tidak diinginkan. Diakui atau tidak UUD 1945 yang dilahirkan pada 18 Agustus 1945 adalah konstitusi yang tidak diinginkan oleh sebagian Founding Fathers. Fitur-fitur yang dikandung oleh konstitusi ini sangat monolitik dan memberikan peluang yang sangat besar untuk terbentuknya pemerintahan otoritarianisme, Fitur-fitur Hobbesian di dalam UUD 1945 dituliskan secar vulgar; model negara integralistik yang menolak demokrasi (liberal), terkandung di teks tersebut. Sebagai adalah pendukung utama teks asli tersebut. Bung Karno secara terang-terangan mengutuk liberalisme yang ada dalam demokrasi parlementer (van der Kroef, 1962), yang dianggap liberal.

Pada awal-awal kemerdekaan, Sutan Syahrir menolak keras sistem presidensial yang terkandung dalam UUD 1945, yang dicurigainya bisa menyemai kediktatoran, pada 16 Oktober 1945 mengadopsi keinginan kawan mudanya itu, Wakil Presiden Hatta mengeluarkan Maklumat No. X 1945[1], Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dianggap sebagai parlemen, ditarik dari rumpun kekuasaan eksekutif; maklumat itu secara efektif menghapus UUD 1945, menciptakan kekosongan konstitusi; terbentuknya partai-partai politik dan pemerintahan parlementer dengan Syahrir sebagai Perdana Menteri (Ricklefs & Wahono, 2008), dan memperlihatkan kepada dunia, bahwa negara baru lahir layak disebut demokratis (Sugiharto, 2013).

Apakah Maklumat No. X November 1945 yang dikeluarkan oleh Bung Hatta, berniat untuk menghapuskan UUD 1945, para ahli dan sejarawan tidak ada yang bersepakat. Tetapi pada pelaksanaannya jelas, setelah keluarnya maklumat tersebut, praktis, UUD 1945 tidak berlaku lagi. 

Pemerintahan parlementer yang dibentuk setelah maklumat itu jelas-jelas mengangkangi UUD 1945. Artinya, keengganan untuk menggunakan sistem yang dikandung oleh konstitusi “pabrikan” Jepang tersebut terlihat sangat nyata. Tidak adanya penolakan yang keras dari para Founding Fathers terhadap maklumat tersebut, mengafirmasi, bahwa mereka menerima "penghapusan" UUD 1945. 

Namun pertanyaannya, apakah maklumat itu juga menghapus nilai-nilai yang dikandung UUD 1945, terutama kesepakatan tentang dasar negara? Pertanyaan ini pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Kebanyakan ahli hukum tatanegara, ilmuwan politik dan sejarawan berputar-putar, berbusa-busa memberi penjelasan bahwa maklumat tersebut tidak mengeliminasi UUD 1945, dengan demikian nilai-nilai yang dikandungnya, termasuk kesepakatan soal model ekonomi tetap berlaku.

Dapatlah dikatakan, UUD 1945 sebenarnya tidak pernah dipakai sebagai “sumber dari segala sumber hukum”  pada masa-masa awal republik. Kecurigaan terhadap konstitusi tersebut terang benderang. Konstituante  yang terbentuk setelah Pemilu 1955, bersepakat untuk merancang konstitusi baru bagi "the baby nation" tersebut. Konstituante bedebat hingga ke akhir masa kerja mereka. Perdebatan yang dipungkasi oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bung Karno mengambil alih seluruh kekuasaan konstitusional ke tangannya dan mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi tanpa prosedur demokrasi pada  5 Juli1959.

Dengan alasan kedaruratan akibat PRRI, Pemerintahan Bung Karno mengumumkan penundaan pemilu yang sejatinya akan dilaksanakan pada September 1959. Tetapi dengan dekrit tersebut Bung Karno menghapus harapan untuk terselenggaranya pemilu demokratis hingga satu dekade kemudian. Dekrit tersebut memungkinkan Bung Karno berkuasa secara absolut: dengan menggunakan beberapa karakter konstitusi yang disukainya dan menolak menggunakan fitur-fitur yang tidak menguntungkan kekuasaannya.

Dekrit tersebut secara efektif menyatakan dirinya sebagai diktator: pembubaran partai politik secara semenan-mena, kabinet yang tidak jelas dan keanggotaan parlemen yang dibentuknya atas kekuasaan kepresidenan, cukup merujuk kepada UUD 1945, karena teks asli itu tidak menyatakan sama sekali bagaimana seharusnya para anggota parlemen dipilih dan ditempatkan di parlemen. Tidak lama kemudian, Bung Karno mengkhianati dekritnya sendiri dengan menyatakan dirinya sebagai presiden seumur hidup. Tiga bulan yang istimewa itu saja umur UUD 1945 di masa kepresidenan Bung Karno.

UUD 1945 dijalankan “secara murni dan konsekuen” hanya ketika Orde Baru berkuasa. Dan UUD 1945 itulah yang berperan sangat besar dalam melanggengkan kekuasaan Orde Baru selama tiga dekade lebih, baik dalam bidang politik maupun ekonomi.

Ekonomi Kerakyatan: Utopia Koperasi. Pasal 33 yang menjadi sumber dari teori-teori ekonomi Pancasila (yang hanya bermain-main dalam tataran falsafah, tidak permah mewujud ke bentuk teoritikal yang bisa diimplementasikan, karena memang tidak ada) menempatkan negara sebagai penguasa atas harkat hidup rakyat. Di mana rakyat tidak boleh diberi kepercayaan untuk masuk ke dalam bisnis yang dianggap “menguasai hajat hidup orang banyak”, karena dalam konstitusi yang sangat sosialis itu, rakyat dianggap sebagai ancaman. Kemudian ancaman dari “rakyat” itu disublimasi menjadi ancaman dari kapitalisme yang “kejam”, yang “akan menghisap harkat hidup orang banyak” karena hanya akan dimiliki oleh orang asing (Hatta, 1954). Paranoia ekonomi di dalam konstitusi asli tersebut, mengandung dua kontradiksi yang inheren secara historis: a. bayangan ketakutan terhadap kapitalisme kolonialis yang menguasai seluruh harkat hidup rakyat terjajah yang diperas untuk memberikan kekayaan kepada negeri penjajah, b. secara kontradiktif, pasal ekonomi tersebut mengakomodasi fitur utama dari kolonialisme di mana penguasaan cabang-cabang produksi utama dan sumber daya alam  oleh negara.

Artinya kekuasaan terhadap sumber daya alam yang sangat besar tersebut berada pada tangan negara: dalam hal ini pemerintah. Sedangkan rakyat tidak boleh bersaing dengan negara untuk mendapatkan sedikitpun dari kekayaan itu, kecuali yang “dijatahkan” oleh negara untuk “kemakmuran rakyat”.

Asas kekeluargaan yang tidak pernah memiliki defenisi jelas, serupa dengan yang diterangkan dalam Penjelasan Pasal 33 memperburuk kondisinya. Karena tafsiran adalah ruang yang sangat luas, maka “kekeluargaan” bisa direduksi atau ditambahi maknanya sesuai dengan pembuat undang-undang sebagai turunan dari konstitusi, diejawantahkan ke dalam praktik “kekeluargaan” ala Orde Baru misalnya, pada akhirnya cita-cita utopis koperasi yang coba dirumuskan oleh Bung Hatta memang hanya menjadi pemanis dalam konstitusi tersebut.

Bung Hatta (1954) dalam bukunya “Beberapa Fasal Ekonomi” menunjukkan kegamangannya sendiri tentang bagaimana wujud koperasi yang akan menjalankan ekonomi kerakyatan tersebut. Karena kekayaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang berkaitan dengan harkat hidup orang banyak telah dikuasai oleh negara, maka tersisa industri-industri yang dimungkinkan dimiliki oleh “inisiatif orang partikulir”. Tetapi paranoia sistem ekonomi sosialis ala Indonesia tidak berhenti sampai pada penguasaan cabang-cabang produksi utama saja. Bahkan negara harus curiga apabila industri-industri “yang tersisa” yang dimungkinkan untuk dikuasai oleh “inisiatif orang partikulir”  tadi. Negara harus menjamin terbentuknya koperasi-koperasi yang berfokus pada produksi agar ekonomi dikuasai oleh rakyat dan lepas dari campur tangan pemilik modal. Bung Hatta (1954) menyebut: “Sebab koperasilah djalan jang sebaik-baiknja pentjapai kemakmuran bagi rakjat jang tidak punja kapital.” Namun ia sendiri tidak menemukan formula yang tepat untuk koperasi tersebut agar bisa diimplementasikan secara tepat, efektif dan efesien sehingga koperasi-koperasi berbasis produksi itu bisa terlaksana.

Jika dalam demokrasi liberal, konstitusi dirancang untuk membatasi kekuasaan pemerintah, maka UUD 1945 sengaja dirancang untuk menghadapi ancaman dari rakyat, membatasi gerak politik dan ekonomi rakyat, karena seluruh industri vital telah dikuasai oleh negara dalam bentuk BUMN yang berjumlah ratusan; persaingan bebas dalam konstitusi ini tidak dianut karena secara utuh mengusung sosialisme; dan rakyat jika ingin mendapatkan jatah ekonomi yang lebih besar maka harus menjalankan koperasi yang tidak memiliki konsep ekonomi yang jelas tadi. Bahkan Bung Hatta sendiri menyebut bahwa dalam sejarahnya koperasi telah gagal untuk mewujudkan cita-cita luhurnya. Lalu Sang Proklamator berpesan dengan naif dan bijak (Hatta, 1954):

“Tindakan jang meleset dimasa jang lalu, tidak mestinja meleset dimasa datang. Sedjarah jang lalu baik dipergunakan sebagai guru jang menundjukkan kesalahan-kesalahan jang diperbuat, jang patut disingkirkan dimasa datang. Bukan buat djadi pedoman. Berapakah banjaknja barang dan perusahaan jang bermula tak laku  dan tak mendjadi, tetapi kembang dimasa sekarang?”

Eksperimen demi eksperimen koperasi telah dilakukan di masa lalu. Di masa Orde Baru, karena sangat murni dan konsekuen menjalankan Pancasila, selalu memiliki anggota kabinet sebagai menteri koperasi. Tetapi koperasi yang diharapkan mampu membangun ekonomi kerakyatan tidak pernah berkembang dan mati layu pada saat dilahirkan. Koperasi sebagai sistem ekonomi kerakyatan, busuk akarnya, mati pucuknya, dan batangnya lapuk meskipun tak dimakan panas maupun hujan.

Demokrasi Ekonomi: Ekonomi Liberal yang Menghantui. Sejak di dalam pembentukan konstitusi, Liberalisme telah menjadi hantu, momok; uniknya pada masa Reformasi liberalisme dianggap sebagai panacea seluruh masalah sistemik kebangsaan. Meskipun para pengusung liberalisme ini berlindung dibalik jubah reformasi, tanpa pernah mau menyebut diri sebagai Liberal, karena bagaimanapun, di negara yang oleh Gus Dur disebut sebagai “bukan-bukan” ini, orang takut disebut sebagai sosialis (karena rendahnya literasi yang sering menyamakan sosialisme dengan komunisme) dan merasa dikutuk jika disebut sebagai Liberal karena akan dianggap sebagai antek Barat. Meskipun pada dasarnya ahli ekonomi Orde Baru dan kebanyakan akademisi kita saat ini adalah hasil didikan Barat yang Liberal, yang membawa pulang ilmunya untuk menerapkan paham politik dan ekonomi liberal di Indonesia (masih ingatkah dengan istilah Mafia Berkeley?). Namun disebut sebagai Liberal akan sama jahatnya dikutuk sebagai komunis, sehingga tidak pernah secara terang-terangan menyatakan bahwa sistem ekonomi yang dianut oleh amendemen itu adalah ajaran ekonomi liberal.

Akibatnya dalam proses amendemen tersebut, terutama yang berkaitan dengan ekonomi, kalimat-kalimat ambigu dipakai untuk menyamarkan intensi liberal dari para pemikirnya. Kompromi dilakukan dalam pem-bahasa-an pada Pasal 33 Ayat (4):

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Terlihat kegamangan dari para penyusunnya untuk menjelaskan bagaimana sistem demokrasi ekonomi itu sebenarnya. Jika demokrasi politik kita adalah liberal, apakah tidak menjadi kontraproduktif apabila demokrasi ekonomi tersebut bersifat sosialis? Ataukah demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah ekonomi liberal itu sendiri? Kalimat yang digunakan dalam Ayat (4) tersebut, mungkin layak disebut sebagai kalimat paling kacau dalam sejarah literatur Indonesia.

Demokrasi liberal yang dianut oleh konstitusi setelah amandemen, adalah keniscayaan sejarah. Reformasi 1998, yang dimenangkan oleh kaum liberal, membuat nilai-nilai yang terkandung dalam amandemen tersebut hampir sepenuhnya mencirikan demokrasi liberal. Karakteristik demokrasi liberal ini, diterima dengan sepenuh hati oleh semua pihak saat itu. Dianggap sebagai kemenangan besar dan memungkinkan proses demokratisasi berjalan dengan baik.

Masalah yang kemudian timbul adalah yang berkaitan dengan demokrasi ekonomi. Ambiguitas kalimat yang digunakan dalam amandemen tersebut membuka peluang multitafsir yang sangat luas.

Kecurigaan Bung Karno terhadap demokrasi liberal, ikut mengakar kuat dalam benak rakyat Indonesia. Namun setelah Reformasi, terjadi kegamangan ideologis. Berdasarkan ideologi apakah  ekonomi politik Indonesia sebenarnya? Menjadikan Marx sebagai rujukan jelas tabu, mengusung semangat liberalisme dianggap sebagai kebarat-baratan dan antek asing, neo-liberal dan segala label yang mungkin disematkan kepada kalangan Liberal Indonesia.

Tetapi marilah kita dengan sederhana dan tanpa malu-malu menyebut, Indoensia ini menganut demokrasi liberal. Sehingga mudah menentukan pada perspektif apa kita melihat masalah.

Di manapun demokrasi liberal diterapkan, maka sistem ekonomi yang harus dipakai adalah kapitalisme, di mana salah satu fitur utama kapitalisme adalah persaingan bebas yang bersisian dengan nilai-nilai demokrasi liberal yang menjamin kebebasan individu dan membatasi kekuasaan negara terhadap rakyatnya. Tanpa fitur ini, maka demokrasi liberal yang diinginkan tidak akan bisa terwujud, karena demokrasi liberal juga mensyaratkan kebebasan dalam bidang ekonomi.

Ekonomi liberal yang berdasarkan rational choice adalah keniscayaan demokrasi, sebagaimana Pasal 33 Ayat (4) tersebut menginginkan adanya kebebasan ekonomi yang luas bagi rakyat, sehingga dimungkinkan untuk rational choice bisa berlaku dalam ekonomi, karena tanpa rational choice adakah demokrasi sebenarnya? Sayangnya, pasal-pasal sebelumnya masih disertai oleh “asas kekeluargaan” yang tidak memiliki landasan teoritikal yang jelas di dalam ekonomi. Pada akhirnya, negara terjebak dalam keengganan untuk sepenuhnya meliberalkan diri (Latif, 2011: 584), karena terikat dengan kekuasaan yang diberikan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang menyangkut harkat hidup orang banyak (terwujud dalam ratusan BUMN), tidak pula sepenuhnya enggan untuk menganut kapitalisme yang lebih menguntungkan karena menjamin pertumbuhan ekonomi dan memungkinkan industrialisasi yang gagal diwujudkan oleh koperasi ala Bung Hatta tersebut.

 

Penutup. Jika negara bersaing dengan rakyat dalam ekonomi, maka ekonomi tidak akan sepenuhnya merdeka. Paradoksnya, setelah reformasi bergulir dan melahirkan demokrasi yang sangat liberal, "publik" ketakutan dengan penerapan ekonomi liberal di Indonesia. Keinginan untuk tetap memaknai pasal asli dalam UUD 1945, dibandingkan hasil amendemen, memperlihatkan kegamangan ideologis dan paranoia yang aneh. Ada tiga anomali politik dalam situasi Indonesia saat ini: a. kalangan Liberal yang menginginkan penggunaan seluruh fitur demokrasi liberal: kebebasan individu yang absolut, yang ditunjukkan dengan kecurigaan berkepanjangan terhadap lembaga-lembaga negara, bahkan yang dihasilkan oleh demokrasi liberal itu sendiri, b. ketakutan terhadap kapitalisme, padahal demokrasi liberal yang dibawa ke Indonesia sepaket dengan kapitalisme,  dan c. secara hipokrit, ingin mengembalikan kekuasaan negara sepenuhnya terhadap cabang-cabang produksi utama sebagaimana keingian Pasal 33 yang asli;  dengan mencurigai kalangan pengusaha yang dianggap representasi kapitalisme global.

Anomali ini semakin memperlihatkan betapa rancunya kita memahami landasan ideologis ekonomi negara. Akibatnya, perdebatan yang seharusnya bisa memberikan sumbang saran terhadap penyelesaian kontradiksi yang inheren di dalam konstitusi, malahan perdebatan itu menimbulkan masalah baru. Dua akar ideologis yang saling bertarung dalam konstitusi kita: liberalisme dan sosialisme, adalah pengakuan bahwa kita tidak memahami apa yang kita inginkan. Meski sebagian pihak menyebut bahwa konstitusi saat ini adalah kompromi yang cukup baik, tetapi pada kenyaataannya, demokrasi liberal yang mati-matian dan berbusa-busa diperjuangkan oleh kaum liberal, secara tidak terduga, mereka juga yang menolak karakteristik utama dari demokrasi liberal: yaitu kapitalisme, yang dilaknat dengan semangat. 

 

Daftar Pustaka

Hatta, M. (1954). Beberapa Fasal ekonomi (Tjetakan kelima, Vol. 1). Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P dan  K.

Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historiositas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Cetakan Ketiga). Gramedia.

Ricklefs, M. C., & Wahono, S. (2008). Sejarah Nasional Indonesia Modern: 1200-2004 (H. Syawie & M. C. Ricklefs, Eds.). Serambi.

Sugiharto, U. (2013). Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP): Sebuah Anomali Suprastruktur Negara Pada tahun 1945. Jurnal Ilmu Politik Vol. 1, No. 2, Pp. 78-87, May. 2013, 1(No. 2), 78–87. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/06/26/0076.html

van der Kroef, J. M. (1962). Dilemmas of Indonesian Communism. Pacific Affairs, 35(2), 141–159.

 

 

 

 

 

 



[1] Maklumat yang dikeluarkan Bung Hatta ini selain menyingkirkan Bung Karno dari kekuasaan dan pemerintahan (hingga 1959), ketika ia meng-kudeta pemerintahannya sendiri dengan mengeluarkan Dekrit Presiden dan membubarkan Konstituante yang merupakan hasil pemilu demokratis), sekaligus memperlihatkan bahwa UUD 1945 dan Pancasila tidak pernah digunakan sama sekali sampai Orde Baru menyelenggarakan pemerintahan yang sah setelah Pemilu 1971, dan menyakralkan UUD 1945 dan Pancasila sebagai instrumen pembungkaman. Demokrasi Terpimpin bersulih rupa menjadi demokrasi yang represif, Demokrasi Pancasila.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow