Apa Itu Alienasi Politik?
“Ja, demokrasi politik itupun hanja bau-baunja sadja! Bukan? Di negeri-negeri modern itu benar ada parlemen, benar ada “tempat perwakilan rakjat”, benar rakjat namanja “boleh ikut memerintah”, tetapi ach, kaum bordjuis lebih kaja daripada rakjat djelata, mereka dengan harta-benda-kekajaannja…propagandis-propagandisnja,...dengan alat-alat kekuasaannja bisa mempengaruhi akal fikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua djalannja politik…mereka punja politik mendjadi politiknya staat…” - Sukarno (Artikel ini dapat diunduh dalam bentuk dokumen PDF)
“Ja, demokrasi politik itupun hanja bau-baunja sadja! Bukan? Di negeri-negeri modern itu benar ada parlemen, benar ada “tempat perwakilan rakjat”, benar rakjat namanja “boleh ikut memerintah”, tetapi ach, kaum bordjuis lebih kaja daripada rakjat djelata, mereka dengan harta-benda-kekajaannja…propagandis-propagandisnja,...dengan alat-alat kekuasaannja bisa mempengaruhi akal fikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua djalannja politik…mereka punja politik mendjadi politiknya staat…”
̶ Sukarno, Mentjapai Indonesia Merdeka
Kajian alienasi politik (political alienation) sering dianggap bermula dari konsep alienasi objektif yang dipaparkan oleh Karl Marx dalam karyanya yang sempat hilang dan ditemukan kembali pada tahun 1930-an, yang berjudul Economic and Philosophic Manuscript 1844. Menurutnya bagi kaum buruh, labor adalah sesuatu yang asing, eksternal, berada di luar dirinya. Buruh tidak saja terasingkan dari produk pekerjaannya tetapi dari aktivitas pekerjaan itu sendiri, begitu juga terhadap pemilik modal yang membuat labor (pekerjaan) itu tersedia. Proses estrangement itu terdapat dalam bentuk a). hubungan antara buruh dengan produk hasil “kerja” sebagai objek asing (alien), yang berkuasa atas dirinya, b). hubungan antara buruh dengan aktivitas produksi itu sendiri, sebagai “kerja” asing yang tidak inheren dengan dirinya. Namun demikian buruh tetap harus terikat dengan pekerjaan karena kondisi itu dipaksakan kepada dirinya atas situasi yang tidak memungkinkannya untuk keluar dari keterpaksaan tersebut yaitu: kebutuhan untuk bertahan hidup
Tradisi Marxis menganggap demokrasi liberal adalah kapitalistik, memungkinkan seseorang merasa teralienasi di dalam sistem politik di mana mereka berada, kanggapan bahwa kelompok elit liberal kapitalis adalah pemilik sebenarnya dari sistem politik yang dianut oleh negara. Kondisi alienasi tercipta bukan sekedar karena pekerjaan menjadi external existence, tetapi karena pekerjaan itu benar-benar berada di luar dirinya secara independen, asing bagi dirinya, lalu menjadi penguasa yang bersifat hostile
Alienasi politik berada pada kontinum yang sama dengan sikap allegiance atau sikap loyal dan mendukung sistem politik yang sama, yang membuat orang-orang yang berada pada ujung kontinum berbeda dari yang merasa terasingkan tadi.
Ada W. Finifter menyebutkan ada empat dimensi yang terkait dengan alineasi politik: a) political powerlesness, individu-individu merasa bahwa mereka tidak memiliki pengaruh terhadap nilai dan proses politik secara otoritatif, dan tidak bisa mengubah keadaan (sangat erat kaitannya dengan efikasi politik dan perilaku memilih), b) political meaningless, anggapn bahwa keputusan-keputusan politik yang dihasilkan oleh pemerintah tidak bisa ditebak, seakan bersifat acak, sehingga menyulitkan untuk memahami bagaimana sistem politik itu bekerja, sehingga pilihan-pilihan politik dianggap tidak berarti karena tidak tercermin di dalam keputusan-keputusan politik yang diambil oleh pemerintah sebagai unpredictable probable outcomes, c) anomie atau political relative normlessness, memakai konsep Durkheim, individu-individu merasa bahwa norma-norma yang seharusnya dipakai oleh pemerintah untuk operasionalisasi pemerintahan telah dikhianati, devitalization of social norms tersebutlah yang memunculkan anggapan adanya kondisi di mana sebenarnya norma-norma sosial politik itu semu, d) political isolation, anggapan bahwa proses demokrasi semisal pemilihan umum hanyalah sebentuk kewajiban formalitas dan prosedural saja, mengakibatkan individu-individu tersebut merasa terisolasi dari pembentukan kebijakan, bahwa aturan-aturan yang berlaku tersebut tidak adil, “telah dikadali demi kepentingan kelompok tertentu”, bahkan konstitusi bisa dianggap sebagai dokumen yang “menipu” dan e) cultural estrangement yang dikontradiksikan dengan shared value pada masayarakat sosial dan politik
Selain empat dimensi (kategori) di atas, kategori discontenment juga dapat menjelaskan keadaan teralienasi yaitu: 1) dissimilarity atau ekspresi seseorang yang melihat dirinya berada di luar atau tidak sama dengan lingkungan sosial politiknya, 2) dissatisfaction, ketidakpuasan atau ketidaksenangan dengan institusi sosial politiknya, membuatnya tidak peduli dan secara terbuka menolak eksistensi institusi sosial politik dan 3) disillusionment, ekspresi kekecewaan sehingga menganggap institusi sosial politik tidak lagi sesuai dengan yang dibayangkan sebelumnya. Pada dimensi atau kategori pertama publik merasa kapasitasnya sebagai warga negara diamputasi oleh sistem, dlam kategori kedua, memilih untuk menjauhkan diri karena menilai mereka tidak dianggap lagi sebagai entitas politik. Kondisi pertama dipaksakan oleh sistem dan kondisi kedua adalah pilihan publik untuk menjauhkan diri dari sistem politik
Menurut Marvin Olsen, dalam pengukuran political alienation terdapat dua asumsi pokok yang harus digunakan: a. political alienatiion bukan perasaan tak terpuaskan yang akan segera hilang bersama waktu, tetapi attitude yang bisa bertahan lama karena merupakan perasaan yang mendalam dan ajeg, b. harus diasumsikan bahwa sebagian besar individu menanggapi secara berbeda isu-isu sosial politik yang dihadapi.
Menurut saya menjadi sulit untuk dikatakan jika alienasi itu semata kondisi objektif atau subjektif dalam masyarakat demokratis, karena proses alienasi tersebut bisa terjadi karena individu membangun relasi diri dengan kondisi sosial politiknya, melalui kontemplasi sadar secara kognitif dan afektif kualitas relasi tersebut, ketika individu atau kelompok merasakan bahwa kualitas hubungan itu buruk berdasarkan subjective well-being-nya, maka estrangement itu menjadi realitas.
Referensi
Finifter, A. W. (1970). Dimensions of Political Alienation. In Source: The American Political Science Review (Vol. 64, Issue 2).
Olsen, M.E. (1969). Two Categories of Political Alienation. Social Forces, 47(3), 288–299
Soekarno (2014). Mentjapai Indonesia Merdeka 1933. In I. Siswo & I. Isaiyas (Eds.), Panca Azimat Revolusi: Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926-1966: Vol. I (Edisi Pertama, pp. 354–463). Kepustakaan Populer Gramedia.
File
Apa Reaksi Anda?