Relativitas, Tafsir-Tafsir Perbedaan dan Perbedaan Tafsir-Tafsir
Kehidupan, politik, kebenaran, tafsir dan setan-setan lainnya adalah soal relativitas yang berkelindan dan menjadi keniscyaan. Tetapi yang pasti hidup adalah soal keajaiban.
“Jika anda duduk dengan seorang wanita tua yang tidak menarik sama sekali, beberapa menit saja, waktu terasa berjalan lambat. Tetapi jika anda duduk bersama dengan seorang gadis cantik dengan mata menawan, jam-jam yang berlalu terasa sangat singkat.”
Kira-kira begitulah Einstein menjelaskan relativitas secara sederhana. Teori Relativitas Khusus dan Teori Relatifitas Umum, adalah teori yang paling sulit dipahami oleh para ilmuwan sekalipun ketika si genius itu merilis teorinya. Komunitas ilmuwan di Jerman bingung dan Nobel tidak diberikan kepada Einstein atas dua teori revolusionernya yang telah menjungkalkan kemapanan Teori Newton yang telah bertahan dua setengah abad, tetapi untuk sebuah teori “minor” yang ditulis Einstein, Gerak Brown. Mengapa, karena komite Nobel sendiri mungkin bingung dengan kerumitan Teori Relativitas.
Dalam kunjungannya bersama Einstein ke Amerika pada Maret 1921, Presiden Organisasi Zionis Dunia Chaim Weizmann, yang juga seorang ahli biokimia hebat, ketika ditanya setibanya mereka di Amerika, apakah ia mengerti teori relativitas, Weizmann menjawab, “Setiap hari (selama pelayaran) Einstein menjelaskan teorinya kepada saya, pada hari ini saya sepenuhnya yakin, Einstein benar-benar memahaminya.”
Jika orang sekelas Weizmann, seorang ilmuwan hebat sulit memahami relativitas, bagaimana dengan kita? Karena untuk membuktikan kebenaran teori Einstein, dunia membutuhkan sebuah gerhana total yang sempurna, maka tentu saja tidak akan mudah bagi kita yang memang sederhana ini.
Memahami relativitas sebagai kajian fisika tentu akan sangat berat bagi kita yang tidak berkecimpung di dalam dunia akademis di bidang itu. Mungkin pernah diajarkan di sekolah menengah dulu, tetapi saya yakin, kita tak pernah sepenuhnya memahami.
Tetapi relativitas bukan soal fisika belaka, relativitas juga menyangkut kehidupan kita sehari-hari, cara kita berpikir, mengolah informasi, memutuskan soal kebenaran, menetapkan benar dan salah, soal menghakimi, soal pemberian label dan soal kesadaran akan kemanusiaan kita. Juga tentang politik, sistemnya, implementasinya, makna-makna tersirat dan tersurat yang ada pada setiap gerak gerik politk.
Relativitas adalah sebuah keniscayaan. Kita meyakini atau tidak, relativitas adalah sebuah kemestian yang tidak dapat ditolak sekuat apapun kita punya keberanian dan kekuatan untuk meniadakannya. Tidak saja dalam soal waktu, relativitas s adalah mengenai segala hal, segala sesuatu yang pernah kita temui.
Ya, segala sesuatunya relatif. Absolutisme itu sebuah absurditas. Kesempurnaan itu tidak membumi sama sekali. Bahkan matematika yang kita sebut sebagai ilmu eksakta belum bisa memastikan berapa nilai π sebenarnya, meskipun sudah di-cap sebagai konstanta selama berabad-abad. Masih akan ada miliaran angka di belakang koma yang akan terus menerus hadir.
Apatah lagi jika kita berbicara soal pemahaman, terjemahan, tafsir, keyakinan dan soal pranata-pranata, ideologi, keyakinan akan Tuhan, agama dan spritualitas yang tak mampu kita jamah dengan tangan dan kecap dengan lidah.
Di manakah posisi relativitas dalam keberadaan kita? Pertanyaan itu akan terjawab jika kita mengetahui keberadaan kita sendiri. Apakah eksistensi kita itu benar-benar ada atau hanya sebuah bayang-bayang belaka. Jika jawabannya kita ini berada dan bukan sesuatu yang semu, maka relativitas itu akan melekat dengan sendirinya pada keberadaan kita.
Kita ini relatif terhadap yang gaib. Kita manusia relatif terhadap binatang. Kita ini relatif terhadap bumi, alam semesta dan kebatinan kita. Keadaan itu tidak akan pernah sama. Sebutlah kita meyakini bahwa angka empat sebagai sebuah konstanta. Tetapi tanyakanlah dari mana empat itu berasal. Jawabannya akan sangat beragam. 3,5 ditambah 0,5 akan menjadi empat. 1 ditambah 3 akan menjadi empat juga, bukankah 1, 25 ditambah 2,75 akan menjadi 4 juga? Dan 7 dikurangi 3 akan menjadi empat, 24 dibagi 6 akan menjadi 4?
Kemudian tanyakan soal yang kita sebut dingin. Bagi mereka yang biasa hidup di utara bumi seperti di Siberia atau Alaska, suhu 10⁰ C tidak akan membuat mereka menggigil kedinginan. Lebih sederhana lagi, bagi orang yang sedang demam, kedinginan akan memiliki makna yang berbeda dengan kita yang sehat-sehat saja. Jika bertanya kepada seorang profesor ilmu politik tentang politik, maka anda akan diberikan penjelasan panjang lebar, tetapi bertanyalah kepada saya, maka saya akan jawab, politik itu sederhana, terkentutlah, maka anda sudah menjadi politisi.
Mungkin anda akan tertawa akan jawaban saya, tetapi cobalah saya beri penjelasan juga, jika semua hadirin terkentut-kentut ketika presiden sedang berpidato di Istana Negara, maka itu akan menjadi aksi politik yang sangat keras untuk mengisyaratkan bahwa presiden tak lebih dari pada sekedar kentut. Relatif bukan? Maka saya yakin, meludah saja sudah bisa disebut sebagai politik.
Bukankah sangat relatif jadinya bahwa dalam hal kentut saja kita akan berbeda paham? Apakah akan dilarang ketika kita memiliki ideologi yang berbeda, pemahaman dan tafsir yang beragam?
Bahkan kesopanan sekalipun adalah norma yang relatif? Kesantunan juga begitu, kearifan juga begitu, kebijaksanaan juga begitu, bahkan yang disebut kekerasan berbeda-beda maknanya di satu dan lain tempat.
Jadi, ketika sesorang menafsirkan tindakan kita mendukung seorang politisi sebagai munafik lantas menolak untuk membiarkan mayat kita memasuki masjid untuk disholatkan, bukankah itu sudah menolak keniscayaan relatifitas? Meskipun tindakan "menolak" adalah keniscayaan relativitas itu sendiri.
Jika kita menilik lebih jauh ke masyarakat kita, maka mau tak mau kita harus menerima keniscayaannya. Bagaimana jika kita menolak dan memutuskan untuk menetapkan hanya satu nilai kebenaran, hanya satu nilai kesantunan, hanya satu nilai kesopanan, satu ideologi, satu budaya, satu tafsir, satu keyakinan?
Karena pemaksaan akan menimbulkan resistensi, maka perlawanan akan menjadi lawan dari sebuah penunggalan. Akibatnya relativitas itu akan menjadi lawan kita, kejadian-kejadian akan datang dengan cepat, sebelum equilibrium relativitas itu tercapai lagi, maka chaos akan datang, hanya satu keadaan yang akan terjadi, yaitu pertumpahan darah dan kematian ratusan, ribuan bahkan mungkin jutaan manusia. Sudahkah kita belajar dari masa lalu yang kelam itu?
Begitulah, relativitas itu kadang menjadi sebuah taboo ketika kita sudah menetapkan kebenaran dan keyakinan tunggal dan menjadikannya sebuah doktrin bagi diri kita sendiri. Namun jika kita menganggap bahwa relativitas itu sebagai sebuah keajaiban, kita akan bisa lebih selaras dengan perbedaan. Tidak ada yang benar-benar pasti. Bukankah soal Tuhan saja kita menafsirkannya secara berbeda? Lantas mengapa ribut soal warna kulit dan agama yang tidak sama.
Kehidupan, politik, kebenaran, tafsir dan setan-setan lainnya adalah soal relativitas yang berkelindan dan menjadi keniscyaan. Tetapi yang pasti hidup adalah soal keajaiban.
Apa Reaksi Anda?