Mengukur Kualitas Demokrasi

Karena sering kali lembaga-lembaga terkenal yang mengukur kualitas demokrasi di seluruh dunia menggunakan indikator "universal", sehingga membuat hasil pengukuran tersebut menjadi "absurd dan judgemental". Perhatikan saja misalnya, pengukuran demokrasi yang dilakukan oleh Freedom House, dengan memasukkan "unsur kebebasan LGBTQ" dan "same sex marriage" untuk mengukur kondisi demokrasi di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim, yang pasti menganut nilai-nilai berbeda dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara liberal di Eropa lainnya.

Agu 6, 2024 - 10:13
 0  27
Mengukur Kualitas Demokrasi
Salah satu bentuk pengukuran demokrasi yang dilakukan oleh Indopol Survey & Consulting

Banyak metode yang dipakai untuk mengukur kualitas demokrasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tetapi secara umum, lembaga-lembaga yang memiliki concern terhadap kesehatan demokrasi di seluruh dunia menggunakan metode kuantitatif dalam bentuk survei untuk menghasilkan indeks demokrasi yang lebih otentik dan dapat dipertanggungjawabkan, karena bisa mewakili keseluruhan populasi di suatu negara. Setiap lembaga memiliki indikator-indikator (dibagi menjadi indikator utama dan pendukung) yang berbeda-beda. Meski terlihat menggunakan indikator yang sama, sebenarnya lembaga-lembaga tersebut menggunakan defenisi berbeda dari indikator-indikator yang mereka gunakan (The Center for High Impact Philanthropy, 2019). Penelitian tentang kualitas demokrasi sering bersifat subjektif, namun dengan membuat defenisi dan klasifikasi-klasifikasi tertentu, pengukuran demokrasi akan mendekati kondisi objektifnya (Geissel et al., 2016).

Ada beberapa tujuan utama dilakukannya democracy measuring: a. untuk menentukan, apakah suatu negara bisa disebut sebagai negara demokrasi atau tidak, b. untuk mengukur kualitas, atau seberapa sehat demokrasi yang sedang berlangsung, c. untuk menilai seberapa jauh kemajuan atau regresi dari demokrasi di negara tersebut (Lindberg et al., 2014).

Pengukuran demokrasi menjadi penting untuk bisa melihat sejauh mana indikator-indikator tersebut mempengaruhi kehidupan demokrasi sebuah negara. Hasil pengukuran akan terlihat menjadi objektif, pemberian angka index akan menunjukkan rendah atau tingginya kualitas demokrasi untuk indikator tertentu. Seringkali indeks-indeks yang dihasilkan ini menujukkan nuansa yang berbeda dari realitas subjektif yang dilihat oleh para ahli, akademisi, politisi, rakyat biasa dan pihak-pihak yang sudah memiliki opini tertentu terhadap kondisi demokrasi di sekitarnya. Pada akhirnya, pengukuran demokrasi pada tataran ini hanya akan menjadi “opini” yang lain dari sebuah penilaian subjektif para peneliti yang menghasilkan indeks demokrasi tersebut. Kontradiksi ini sulit untuk didamaikan. 

Pada tahap inilah, perlu kehati-hatian untuk menetapkan bukan saja definisi dari indikator-indikator pengukuran, bahkan defenisi demokrasi itu sendiri. Defini yang seharusnya bersesuaian dengan ideologi, prinsip-prinsip ketatanegaraan, filosofi dasar konstitusi dan sejauh mana filosofi tersebut diterima dan dimaknai secara seragam oleh seluruh stakeholder demokrasi di negara tersebut. Karena sering kali lembaga-lembaga terkenal yang mengukur kualitas demokrasi di seluruh dunia menggunakan indikator "universal", sehingga membuat hasil pengukuran tersebut menjadi "absurd dan judgemental". Perhatikan saja misalnya, pengukuran demokrasi yang dilakukan oleh Freedom House, dengan memasukkan "unsur kebebasan LGBTQ" dan "same sex marriage" untuk mengukur kondisi demokrasi di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim, yang pasti menganut nilai-nilai berbeda dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara liberal di Eropa lainnya.

Indikator Pengukuran Demokrasi. Perlu diingat, indikator-indikator yang memiliki defenisi berbeda atau pemaknaan yang berbeda, terkadang akan menghasilkan interpretasi yang berbeda ketika akan membuat pertanyaan kuisioner untuk penelitian/survey yang dilakukan. Sehingga, penting untuk memastikan batasan-batasan defenisi yang ajeg untuk setiap indikator dan indikator turunannya.

Sumber: Penn Social Policy & Practice, University of Pennsylvania

Freedom House misalnya, menggunakan tujuh indikator utama untuk mengukur eksistensi dan kulaitas demokrasi: 1. Pemilihan Umum, 2. Partisipasi, 3. Berfungsinya pemerintahan, 3. Kebebasan berekspresi, 4. Penegakan Hukum, 5. Individual rights. Tujuh indikator utama ini, jika diturunkan menjadi indikator pendukung, mesti memastikan defenisi yang konstan pada indikator utama, sehingga tidak terjadi tumpang tindih pemaknaan pada indikator-indikator tersebut.

EIU (Economist Intelligence Unit) yang dikeluarkan divisi riset dan analisis The Economist, meniadakan indikator kebebasan berekspresi dan penegakan hukum. Sementara V-Dem, sepertinya memiliki makna yang jauh berbeda tentang demokrasi,  mereka menambahkan egalitarianisme dan proses deliberasi dalam makna demokrasi yang akan diukur.

 Defenisi Demokrasi Menurut V-Dem. Mengambil contoh indikator utama yang digunakan oleh V-Dem (Varieties of Democracy) Project yang meng-klaim memiliki pendekatan yang unik dalam mengkonseptualisasikan dan mengukur demokrasi. Pendekatan multidimensional yang meng-dis-agregat-kan data-data sehingga mampu merefleksikan kompleksitas konsep demokrasi sebagai sebuah sistem yang lebih holistik daripada sekedar hadirnya pemilihan umum yang rutin.

Sepertinya V-Dem memiliki  defenisi yang lebih progresif untuk mengukur kualitas demokrasi, seperti dicantumkannya proses “deliberative” ke dalam pengukurannya (yang merupakan salah satu fitur radical democracy yang diajukan oleh Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau). V-Dem mengharuskan penggunaa lima indikator untuk mengukur kualitas demokrasi (Lindberg et al., 2014).

a.   Electoral (ekuivalen dengan pemilihan umum). Pemilihan umum adalah nilai inti dari demokrasi, yang membuat “penguasa” responsof terhadap warga negara melalui kompetisi untuk mendapatkan “persetujuan” dari pemilih pada pemilu yang dilaksanakan secara rutin. Komponen ini fundamental, karena tanpa pemilu rutin maka regime pemeritahan tersebut tidak bisa disebut demokratis. Meski demikian sebuah regime dapat disebut memiliki kualitas demokratis walau tidak memiliki demokrasi.

b.   Liberalisme. Komponen liberal sangat penting untuk memetakan dan mengukur kualitas demokrasi suatu negara. Liberalisme memiliki nilai-nilai intrinsik yang melindungi hak-hak individu, minoritas dari tirani mayoritas. Liberalisme ini dapat dicapai melalui perlindungan terhadap kebebasan sipil, penegakan hukum, proses check and balances yang baik, yang membatasi kekuasaan cabang eksekutif di pemerintahan. 

c.   Partisipasi. Komponen partisipasi penting untuk didefenisikan, mengingat sedang populernya penggunaan frase partisipasi bermakna atau meaningful participation yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dan didesiminasi oleh kalangan Civil Society. Komponen ini menghendaki partisipasi aktive seluruh warga negar dalam setiap proses politik, seperti legislasi dan pengawassan kinerja pemerintahan. Tetapi sejauh mana partisipasi ini bisa dilaksanakan mengingat, apakah partisipasi itu harus menjadi kewajiban (civic duty) atau sekedar hak yang disedikan oleh negara atau jika tidak bisa dituntut untuk dilaksanakan. Partispasi ini bertumpu pada proses non elektoral melalui Civil Society Organisations dan mekanisme demokrasi langsung.

d.   Deliberative. Komponen deliberative dalam demokrasi menjunjung nilai dasar bahwa keputusan politik yang ditujukan untuk kepentingan publik mesti melalui dialog yang penuh hormat dan reasonable antara semua pemangku kepentingan daripada rujukan emosional; solidaritas kesukuan, ideologi politik, dan kepentingan yang bersifat parokial atau pemaksaan.

e.   Equality. Kesamaan dalam hak-hak dan kebebasan yang bersifat formal seperti distribusi kemakmuran, pendidikan, kesehatan atau secara lebih luas hak-hak sosial-ekonomis.

Jika kita mengambil rujukan pada V-Dem Project ini, maka proses selanjutnya akan menentukan indikator-indikator turunan dari lima indikator utama di atas. Semisal, indikator apa saja yang bisa menentukan ada dan/atau tinggi rendahnya kualitas equality di dalam demokrasi, dan sejauh mana indikator-indikator tersebut didefenisikan dan bisa diukur secara objektif. Apakah dasar rujukan distribusi kemakmuran, pendidikan dan kesehatan, misalnya. Sehingga data-set yang dibutuhkan untuk menjelaskan defenisi tersebut perlu didalami dan dipahami terlebih dahulu. 

Demokrasi yang Kuat. The Center for High Impact Philanthropy, School of Social Policy & Practice di University of Pennsylvania (The Center for High Impact Philanthropy, 2019), memberikan lima indikator demokrasi yang kuat yaitu: a. empowered Citizens. Warga negara adalah aktor utama dalam demokrasi, warga negara bisa kuat apabila hak-haknya dilindungi oleh negara. Dengan warga negara yang kuat, relasi antara warga negara dan wakilnya di parlemen bisa lebih  proaktif, b. fair process. Mekanisme demokrasi yang adil perlu terjamin, baik dalam pemilu maupun dalam proses deliberatif, c. responsive policy. Sebagai produk dari demokrasi kebijakan mesti menekankan kepada kepentingan warga negara secara adil, d. information and Communication. Elemen ini me-mediasi antara warga negara dan pemangku kekuasaan agar informasi yang mengalir di antara kedua belah pihak lebih akurat  dan terpercaya, dengan demikian memungkinkan warga negara untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas kebijakan-kebijakannya, dan d. social Cohesion. Adanya perasaan memiliki tujuan dan identitas yang sama pada warga negara sehingga mereka bisa menyatakan, “Kami Warga Negara…” Saling menghargai hak masing-masing dalam bidang sosial-ekonomi-politik dan pemerintahan hingga mampu bekerja sama untuk mencapai tujuan berbangsa.

 Penutup. Jika indikator-indikator utama dan pendukung sudah mampu merangkum penilaian terhadap lima parameter demokrasi yang kuat, maka indikator-indikator tersebut bisa diangggap mencukupi untuk melakukan pengukuran terhadap demokrasi kita. Oleh karena itu proses penentuan defenisi demokrasi, indikator-indikator utama dan pendukung demokrasi harus ditentukan secara ajeg terlebih dahulu. Untuk mencapai dan menghasilkan pertanyaan penelitian dan metode survey yang baik dan akuntabel.

Sumber:

Geissel, B., Kneuer, M., & Lauth, H.-J. (2016). Measuring the Quality of Democracy. International Political Science Review, 37(5), 571–579. https://doi.org/10.2307/26556872

Lindberg, S. I., Coppedge, M., Gerring, J., & Teorell, J. (2014). V-DEm: A NEw wAy to mEAsurE DEmocrAcy. In Journal of Democracy (Vol. 25, Issue 3). https://v-dem.net

The Center for High Impact Philanthropy. (2019). A PHILANTHROPIC GUIDE TO STRENGTHENING DEMOCRACY. www.impact.upenn.edu

 




Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow