Mengukur Kualitas Demokrasi
Karena sering kali lembaga-lembaga terkenal yang mengukur kualitas demokrasi di seluruh dunia menggunakan indikator "universal", sehingga membuat hasil pengukuran tersebut menjadi "absurd dan judgemental". Perhatikan saja misalnya, pengukuran demokrasi yang dilakukan oleh Freedom House, dengan memasukkan "unsur kebebasan LGBTQ" dan "same sex marriage" untuk mengukur kondisi demokrasi di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim, yang pasti menganut nilai-nilai berbeda dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara liberal di Eropa lainnya.
Banyak metode yang dipakai untuk mengukur kualitas demokrasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tetapi secara umum, lembaga-lembaga yang memiliki concern terhadap kesehatan demokrasi di seluruh dunia menggunakan metode kuantitatif dalam bentuk survei untuk menghasilkan indeks demokrasi yang lebih otentik dan dapat dipertanggungjawabkan, karena bisa mewakili keseluruhan populasi di suatu negara. Setiap lembaga memiliki indikator-indikator (dibagi menjadi indikator utama dan pendukung) yang berbeda-beda. Meski terlihat menggunakan indikator yang sama, sebenarnya lembaga-lembaga tersebut menggunakan defenisi berbeda dari indikator-indikator yang mereka gunakan
Ada beberapa tujuan utama dilakukannya democracy measuring: a. untuk menentukan, apakah suatu negara bisa disebut sebagai negara demokrasi atau tidak, b. untuk mengukur kualitas, atau seberapa sehat demokrasi yang sedang berlangsung, c. untuk menilai seberapa jauh kemajuan atau regresi dari demokrasi di negara tersebut
Pengukuran demokrasi menjadi penting untuk bisa melihat sejauh mana indikator-indikator tersebut mempengaruhi kehidupan demokrasi sebuah negara. Hasil pengukuran akan terlihat menjadi objektif, pemberian angka index akan menunjukkan rendah atau tingginya kualitas demokrasi untuk indikator tertentu. Seringkali indeks-indeks yang dihasilkan ini menujukkan nuansa yang berbeda dari realitas subjektif yang dilihat oleh para ahli, akademisi, politisi, rakyat biasa dan pihak-pihak yang sudah memiliki opini tertentu terhadap kondisi demokrasi di sekitarnya. Pada akhirnya, pengukuran demokrasi pada tataran ini hanya akan menjadi “opini” yang lain dari sebuah penilaian subjektif para peneliti yang menghasilkan indeks demokrasi tersebut. Kontradiksi ini sulit untuk didamaikan.
Pada tahap inilah, perlu kehati-hatian untuk menetapkan bukan saja definisi dari indikator-indikator pengukuran, bahkan defenisi demokrasi itu sendiri. Defini yang seharusnya bersesuaian dengan ideologi, prinsip-prinsip ketatanegaraan, filosofi dasar konstitusi dan sejauh mana filosofi tersebut diterima dan dimaknai secara seragam oleh seluruh stakeholder demokrasi di negara tersebut. Karena sering kali lembaga-lembaga terkenal yang mengukur kualitas demokrasi di seluruh dunia menggunakan indikator "universal", sehingga membuat hasil pengukuran tersebut menjadi "absurd dan judgemental". Perhatikan saja misalnya, pengukuran demokrasi yang dilakukan oleh Freedom House, dengan memasukkan "unsur kebebasan LGBTQ" dan "same sex marriage" untuk mengukur kondisi demokrasi di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim, yang pasti menganut nilai-nilai berbeda dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara liberal di Eropa lainnya.
Sumber: Penn Social Policy & Practice, University of Pennsylvania
Freedom House misalnya, menggunakan tujuh indikator utama untuk mengukur eksistensi dan kulaitas demokrasi: 1. Pemilihan Umum, 2. Partisipasi, 3. Berfungsinya pemerintahan, 3. Kebebasan berekspresi, 4. Penegakan Hukum, 5. Individual rights. Tujuh indikator utama ini, jika diturunkan menjadi indikator pendukung, mesti memastikan defenisi yang konstan pada indikator utama, sehingga tidak terjadi tumpang tindih pemaknaan pada indikator-indikator tersebut.
EIU (Economist Intelligence Unit) yang dikeluarkan divisi riset dan analisis The Economist, meniadakan indikator kebebasan berekspresi dan penegakan hukum. Sementara V-Dem, sepertinya memiliki makna yang jauh berbeda tentang demokrasi, mereka menambahkan egalitarianisme dan proses deliberasi dalam makna demokrasi yang akan diukur.
Sepertinya V-Dem memiliki defenisi yang lebih progresif untuk mengukur kualitas demokrasi, seperti dicantumkannya proses “deliberative” ke dalam pengukurannya (yang merupakan salah satu fitur radical democracy yang diajukan oleh Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau). V-Dem mengharuskan penggunaa lima indikator untuk mengukur kualitas demokrasi
a. Electoral (ekuivalen dengan pemilihan umum).
b. Liberalisme.
c. Partisipasi.
d. Deliberative.
e. Equality.
Jika kita mengambil rujukan pada V-Dem Project ini, maka proses selanjutnya akan menentukan indikator-indikator turunan dari lima indikator utama di atas. Semisal, indikator apa saja yang bisa menentukan ada dan/atau tinggi rendahnya kualitas equality di dalam demokrasi, dan sejauh mana indikator-indikator tersebut didefenisikan dan bisa diukur secara objektif. Apakah dasar rujukan distribusi kemakmuran, pendidikan dan kesehatan, misalnya. Sehingga data-set yang dibutuhkan untuk menjelaskan defenisi tersebut perlu didalami dan dipahami terlebih dahulu.
Demokrasi yang Kuat.
Sumber:
Geissel, B., Kneuer, M., & Lauth, H.-J. (2016). Measuring the Quality of Democracy. International Political Science Review, 37(5), 571–579. https://doi.org/10.2307/26556872
Lindberg, S. I., Coppedge, M., Gerring, J., & Teorell, J. (2014). V-DEm: A NEw wAy to mEAsurE DEmocrAcy. In Journal of Democracy (Vol. 25, Issue 3). https://v-dem.net
The Center for High Impact Philanthropy. (2019). A PHILANTHROPIC GUIDE TO STRENGTHENING DEMOCRACY. www.impact.upenn.edu
Apa Reaksi Anda?