Kepuasan Terhadap Kinerja Pemerintah dan Endorsement

Jun 11, 2024 - 13:47
 0  35
Kepuasan Terhadap Kinerja Pemerintah  dan Endorsement

  Approval Rating atau biasa juga disebut dengan satisfaction of Voters, atau kepuasan atas kinerja sering menjadi tolak ukur untuk keterpilihan kembali atau memberikan pengaruh apabila seorang inkumben memberikan dukungan kepada kandidat tertentu di dalam pemilu. Kita bisa mengamati, bahwa endorsement yang diberikan oleh presiden petahana Joko Widodo dianggap membuat Prabowo Subianto memenangkan Pilpres 2024 dengan kemenangan telak (landslide), 58,59%.

Benarkah approval rating memberikan efek yang besar? Dalam analisis singkat ini kita akan melihat sejauh mana approval rating memberikan efek dalam pemilu.

Sepanjang data yang teramati, Approval Rating (AR) Presiden Jokowi saat ini adalah AR tertinggi di dunia untuk seorang presiden atau perdana menteri incumbent, menurut berbagai lembaga survey di Indonesia berada pada kisaran 75-80 pts sejak dua tahun yang lalu. Hanya bisa diimbangi oleh Perdana Menteri Modi di India (menurut data pada 7-13 Juni 2023) 75%. Approval rating Presiden Jokowi sedang berada di tahun terakhir masa jabatannya, dapat disebut sebagai anomali politik.

Indopol merekam approval rating Presiden Jokowi sejak 2022, meski mengalami fluktuasi, tetapi tetap berada di atas angka 60 basis points (pts). Tentu saja harus kita garis bawahi, angka approval rating atau kepuasan terhadap kinerja petahan tersebut tidak sama dengan seberapa baik kinerja yang bersangkutan. Approva rating hanya angka yang menggambarkan bagaimana publik mengapresiasi dan menilai kinerja petahana. Karena opini publik jelas tidak bisa ditafsirkan secara langsung bahwa kondisi sebuah negara atau wilayah elektoral tertentu sudah sesuai dengan kinerja politik dan ekonomi yang “seharusnya”. Sehingga approval rating tidak bisa dijadikan sebagai ukuran kinerja pemerintah, tetapi hanya gambaran umum bagaimana publik menyikapi perfoma pemerintah, yang dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk di dalamnya rasa suka dan tidak suka kepada petahana.

Dengan dukungan publik yang besar, posisi politik Presiden Jokowi sangat kuat (setidaknya dalam persepsi publik). Sehingga dianggap, dukungan yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo terhadp calon-calon tertentu bisa memberikan efek elektoral yang besar.

Negara lain. Bandingkan dengan negara berikut (data diambil dari: Lembaga Survey dan Consulting Morning Consult per 6 Juni 2024):

1.     India, Narendra Modi, 70 pts

2.     Australia, Anthony Albanese, 44

3.     Italia, Giogia Meloni, 42 pts

4.     Amerika Serikat, Joe Biden, 37 pts

5.     Inggris, PM Rishi Sunak, 25 pts

6.     Kanada, Justin Trudeau, 30 pts

7.     Jepang, Fumio Kishida, 13 pts

8.     Perancis, Emanuel Macron, 21 pts

9.     Belanda, Mark Rutte, 34 pts

10.  Korea Selatan, Yoon Seok-youl, 20 pts.

Singapura satu-satunya negara maju di Asia Tenggara, yang data approval ratingnya sangat minim, terakhir dicatat pada 2020 yang lalu, tingkat kepuasan terhadap Perdana Menteri Lee Hsien Long di angka 56% (perlu verifikasi). Mengingat Singapura tidak memiliki batas jabatan dan dianggap bukan negara demokrasi, maka angka ini tidak terlalu relevan. Bulan yang lalu waktu yang lalu Singapura sudah melakukan susksesi kepemimpinan dan jabatan perdana menteri akhirnya lepas dari keluarga Lee.

Bagaimana dengan Amerika Serikat? Pada 1960 AR Presiden Eisenhower berada pada 59 pts. Tetapi wakil presidennya Ricard Nixon dikalahkan oleh John F. Kennedy di pemilu tahun itu. Mengutip dari The American Presidency Project, yang mengumpulkan data Gallup Poll, pada akhir masa jabatannya, Presiden Ronald Reagan (Partai Republik) memiliki AR sebesar 63 pts, dan George H. W. Bush (wakil presiden) berhasil memenangkan Piplres 1988, dengan basis asumsi, tentu saja mendapatkan endorsement dari Presiden Reagan.  Bush memperoleh efek dari AR Reagan, meski diujung masa jabatannya itu Reagan dibelit skandal besar Iran-Kontra.

Sementara itu Presiden Bush, yang di akhir masa jabatannya mendapatkan AR sebesar 56 pts, pemenang Perang Teluk, namun dengan kondisi ekonomi yang sedikit buruk, dikalahkan oleh Bill Clinton di Pilpres 1992. (AR akhir masa jabatan ini tidak sama dengan AR pada hari pemilihan di November tahun sebelumnya, tetapi dengan asumsi tidak ada fluktuasi yang signifikan. Namun dapat diteliti lebih lanjut).

Bill Clinton pada 2001 memiliki AR 66 pts, tetapi calon presidennya Al Gore dikalahkan oleh George W. Bush pada Pilpres 2000. Begitu juga dengan Obama pada 2017, memiliki AR 59 pts, tetapi Hillary Clinton dari Demokrat dikalahkan oleh Donald Trump pada Pilpres 2016. Sementara Donald Trump memiliki AR sangat rendah pada ujung masa jabatannya, 34 pts. Dan dikalahkan secara telak oleh Presiden Biden dalam popular votes dengan marjin tujuh (7) juta suara lebih.

Endorsement Effects. Apakah endorsement dari inkumben itu berpengaruh terhadap tingkat keterpilihan calon yang di-endorse? Berdasarkan data ringkas di atas, endorsement presiden inkumben memberikan sumbangsih bagi keterpilihan calon yang didukungnya. Tetapi sulit untuk menakar seberapa besar pengaruh itu dapat memenangkan pemilihan.

Perlu diingat, sistem pilpres Amerika Serikat misalnya, berbeda jauh dengan Indonesia, yang hanya melalui satu tahap pemilihan one man one vote  atau popular vote. Di Amerika Seriktaika Serikat seetelah dilakukannya  popular vote pada minggu pertama November di tahun pemilihan, pada tahap kedua Electoral College, yang terdiri dari lima ratus tiga puluh delapan (538) electors, akan secara resmi memilih presiden berdasarkan hasil popular vote yang telah didelegasikan kepada electors dari negara-negara bagian. Seorang kandidat harus melampaui dua ratus tujuh puluh (270) suara electors untuk menjadi Presiden Amerika Serikat.

Jadi AR presiden inkumben bisa memberikan pengaruh kepada calon yang di-endorse, namun bisa juga tidak. Melihat fenomena unik Hillary Clinton yang memenangkan popular vote dengan marjin lebih dari tiga (3) juta suara, tetapi kalah dari Donald Trump yang justru menang di electoral college. Sehingga endorsement dari petahana tidak bisa memberikan efek kausalitas yang defenitif terhadap calon yang didukung. Tingkat keterpilihan memiliki  banyak faktor sehingga endorsemen tidak bisa dijadikan patokan untuk keterpilihan seorang kandidat. Apalagi kultur politik Indonesia jau berbeda dari Amerika Serikat.

Pada Selasa minggu pertama November nanti, Amerika Serikat akan menggelar pilpres. Dengan approval rating yang berkisar antara 35-39 pts, terlihat sulit bagi Joe Biden untuk kembali dilantik pada Januari 2025 nanti. Banyak pengamat menilai, Donald Trump akan memenangkan pilpres meskipun Trump harus berkampanye dari penjara. Tetapi apakah approval rating tersebut akan menjadi faktor utama kekalahan Biden? Tentu saja tidak. Polarisasi politik di Amerika Serikat yang sangat buruk, cukup memberi pengaruh.

Dengan demikian AR, seringkali hanya menjadi pemanis atau tanda buruk dalam catatan politik bagi petahana, bukan penentu nasib politik untuk siapapun. (jidp/df)

 

 

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow